E. Terorisme Fisik Dan Terorisme Nonfisik
- Terorisme Fisik
Terorisme fisik yang dimaksud di sini adalah tindak teror yang mengakibatkan kerusakan fisik (material) pada berbagai aspek kehidupan yang terkait dengan makhluk hidup maupun benda mati. Kerusakan yang terjadi bagi makhluk hidup dapat berupa cacat fisik permanen, bisa juga kematian langsung, sedangkan berkaitan dengan benda mati dapat berbentuk kerusakan ringan hingga berat sampai kehancuran total.
Berbagai kasus teror fisik telah terjadi diberbagai belahan bumi, hanya saja kejadian tersebut seringkali berada pada makna yang sangat terbatas. Aksi teror terkungkung pada peristiwa-peristiwa terbatas, seperti ; peledakan bom, pembajakan pesawat, penculikan dan penyanderaan. Sayangnya hal ini kemudian diberitakan pada porsi yang berlebihan serta berulang-ulang sehingga menciptakan suatu image di alam pemikiran masyarakat bahwa suatu tindakan baru dikatakan laku teror bila terkait dengan hal-hal tersebut. Padahal sesungguhnya, sebagaimana disebutkan di atas teror adalah suatu tindakan yang dapat merusak berbagai aspek kehidupan makhluk hidup, khususnya manusia dan lingkungannya.
Aspek-aspek kehidupan manusia tentu saja sangat luas, kemapanan ideologi, stabilitas politik, kesejahteraan ekonomi dan keteraturan pranata sosial budaya, termasuk didalamnya aspek pendidikan, hukum dan lingkungan hidup. Akibat pemaknaan yang terbelenggu dalam bentukan pemikiran (imagery) opini yang mengalir dalam kehidupan masyarakat tentang laku teror mengalami penyempitan yang luar biasa, sampai kemudian peregangan ideologi, runtuhnya stabilitas politik, hancurnya fundamental ekonomi serta kekacauan sistem sosial budaya juga tidak berfungsinya hukum secara benar akibat ulah atau perilaku seorang atau lebih, pelakunya tidak dikatakan sebagai teroris, serta perbuatannya lepas dari terma terororisme.
Jadi tidaklah mengherankan, jika justifikasi yang diberikan baik oleh pengadilan maupun yang dilakukan langsung oleh masyarakat pun terasa sangat lemah dan tidak menyentuh pada akar persoalan. Pada mereka yang melakukan tindak teror pada tataran ideologi dan politik, masih terdapat kata-kata pelaku makar atau dulu dikatakan pelaku subversif, tetapi bagaimana dengan pelaku teror pada tataran ekonomi, seperti koruptor yang dengan leluasa menikmati hasil korupsinya ? atau pengemplang pajak yang masih bisa melenggang ?. Tengok beberapa kasus korupsi, seperti kasus Bantuan Likuaiditas Bank Indonesia (BLBI) yang sepertinya belum terselesaikan, kasus Ayin dengan vonis ringan belakangan kayus mafia pajak dan mafia hukum Gayus HT dab Cirus S, bandingkan dengan hukum pelaku KDRT yang diancam dengan hukuman hingga lima belas tahun.
Kasus Narkotika, Psiko tropika dan zat adiktif (Napza) serta bebas edarnya minuman keras (miras)., dipandang darisudut pandang hukum, maka tidak ada tidak ada hukum manapun yang menganggap penggunaan Napza dan Miras yang tidak pada tempatnya adalah merupakan hal yang baik. Begitu juga bila hal tadi ditinjau dari presfektif etika dan moral keagamaan. Coba hitung berapa kerugian yang dialami oleh bangsa dan negara Indonesia pertahun akibat kasus Napza ?.
Sayangnya sampai hari ini, produsen, pengedar maupun perlakuan terhadap korban, khususnya bagi produsen dan pengedar belum memperlihatkan ketegasan yang nyata, apalagi sampai pada tahap memasukkan mereka sebagai pelaku tindak terorisme. Padahal kalau dihitung, sudah bukan lagi pada angka ribuan yang menjadi korban, mungkin kalau keseluruhannya dihitung maka akan sampai pada hitungan juta. Apalagi kalau kemudian dicermati, penggunaan Napza dan Miras yang tidak pada tempatnya, tidak hanya berefek pada kerusakan fisik hari ini, tetapi pun juga berefek pada aspek moral dan mental korban hingga masa yang cukup lama, jika tidak dikatakan permanen. Bandingkan, mana yang lebih besar biaya untuk rehabilitasi kerusakan yang diakibatkan meletupnya Bom Bali atau biaya rehabilitasi korban penggunaan Napza dan Miras yang tidak pada tempatnya ?. Sampai kapan hal ini akan terus kita biarkan ?.
Perlakuan bagi para koruptor, pengemplang pajak serta pelaku kejahatan ekonomi lainnya juga pelaku kejahatan Napza dan kejahatan (mafia) hukum, sampai hari ini masih dapat bernafas lega karena cap terorisme belum juga mampir pada kening mereka. Bila saja cap teroris itu distempelkan pada jidat mereka, tentu perlakuan hukum pun akan berbeda, plus pemahaman masyarakat tentang terorisme juga akan mengalami perubahan, seiring peluasan ruang dan makna terorisme dalam berbagai aspek kehidupan.
Lalu bagaimana dengan perusakan lingkungan yang dilakukan secara sadar ?. Adalah suatu hal yang sangat aneh bagi bangsa yang besar ini, ketika alam lingkungan tempat dia hidup ”dengan berbagai alasan” dirusak oleh sekelompok orang, sementara mereka diam saja. Sebagai contoh dapat kita lihat pada kerusakan lingkungan akibat eksplorasi galian C (penambangan pasir) disuatu lokasi penambangan. Kerusakan ekosistem di tempat tersebut sudah mencapai tarap sangat mengkhawatirkan. Sementara masyarakat disekitarnya tidak berdaya untuk melakukan pencegahan, karena takut untuk berhadapan dengan sistem yang melindungi corporate yang melakukan eksplorasi tersebut, legal ataupun illegal.
”Apakah masyarakat diuntungkan dengan aktifitas tersebut ?”, untuk menjawab dan atau mengajukan satu pertanyaan ini saja, kelihatan seolah masyarakat takut. Padahal resiko yang harus mereka tanggungkan sulit untuk diukur, seperti kalau diajukan pertanyaan ”berapa ganti rugi yang harus dikeluarkan untuk kerusakan lingkungan yang permanen ?”. Lalu coba tambahkan dengan pertanyaan, ”berapa kerugian kerusakan sosio culture yang harus ditanggungkan oleh masyarakat ?”. Karena, bukankah akibat eksplorasi galian C kemudian berefek pada perubahan sikap hidup dan pranata sosial yang ada.
Kemudian bagaimana dengan penambangan-penambangan lainnya?. Eksplorasi batu bara, penambangan timah, emas dan deretan penambangan lainnya yang tersebar dihampir setiap pelosok negeri, lalu tambahkan dengan perusakan hutan akibat pembalakan liar. Penambangan dan pembalakan liar yang dilakukan dengan tidak memperhitungkan efek Analisis Dampak Lingkungan (Amdal), menghasilkan kerusakan lingkungan yang luar biasa, kerusakan ekosistem dari hulu sampai hilir sungguh suatu hal yang mengerikan. Tapi, lagi pelaku-pelakunya lepas dari terma teroris, hanya karena makna terorisme secara tidak sengaja telah terdegradasi pada ruang dan laku yang sangat terbatas.
Mari kita coba lihat dari kaca pandang akademis. Dari sudut psikologis, pelan namun pasti terjadi proses pengendapan informasi bawah sadar. Dimana eksplorasi lingkungan yang dilakukan untuk mendapatkan keuntungan oleh sekelompok orang, akan membentuk sikap lunturnya penghargaan atas alam yang seharusnya dipelihara kelestariannya, atau jika dilakukan eksplorasi maka hal itu harus diiringi dengan kemauan kuat untuk dapat dilakukan upaya rehabilitatif atas kemungkinan terjadinya kerusakan lingkungan.
Efek lain yang timbul, dipandang dari kaca pandang sosiologi adalah; tumbuhnya premanisme terselubung, beredarnya miras dengan bebas dan bahkan mungkin prostitusi. Lebih jauhnya, hilangnya nilai-nilai kultural masyarakat agraris, seperti ; tumbuhnya kelompok masyarakat yang dengan terpaksa ikut arus karena lahan garapnya tergusur, terutama masyarakat petani penggarap. Ketika mereka tidak terserap bekerja dalam lingkungan corporate, maka mereka kemudian mengangur,terjadilah kemudian munculnya masyarakat miskin baru.
Lalu dengan cara apa mereka harus bertahan hidup ?, bagaimana mereka membiayai anak-anaknya sekolah ?, apakah mungkin bagi mereka dapat mengakses kepentingan yang berhubungan dengan kepentingan kesehatan ?. Sederet pertanyaan panjang lain, yang berhubungan dengan aspek sosial dan kultural masyarakat masih mungkin untuk diajukan, namun kenyataannya sampai hari ini, kita masih terdiam.
Padahal kalau dirunut dengan rancak, maka akan didapat suatu korelasi yang kuat antara kemiskinan, keterbelakangan dan rendahnya kualitas pendidikan dengan berbagai aspek penyimpangan perilaku sosial, termasuk dalam hal ini penyimpangan dalam beragama dan berkeyakinan.
- Terorisme Nonfisik
Terorisme nonfisik yang dimaksud di sini adalah teror yang berakibat pada kerusakan moral, mental sipiritual obyek sasarannya. Lunturnya keyakinan atas ideologi negara, degradasi keberagamaan, munculnya budaya korup yang menegasikan kejujuran, eleminisai nilai-nilai kesetiakawanan, persatuan dan kesatuan serta persaudaraan juga memudarnya rasa kebanggaan sebagai sebuah keomunitas, berbangsa dan bernegara adalah merupakan contoh-contoh yang merupakan bagian dari hasil kinerja laku teroris intelektual.
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) yang pesat, pada satu sisi memberikan manfaat besar bagi kehidupan umat manusia, namun pada sisi lainnya, tidaklah selalu demikian. Dunia saat ini seolah tidak lagi memiliki batas yang sesungguhnya, kecanggihan TIK memiliki daya tembus yang sangat dahsyat, tidak hanya batas wilayah antar negara bahkan jauh menusuk batas-batas kehidupan pribadi umat manusia. Dunia tanpa batas, dunia yang rata atau kadang juga disebutkan kampung besar sebuah artikulasi yang melahirkan kata globalisasi. Globalisasi menjadi jargon yang menekan dan mempengaruhi alam bawah sadar manusia, hingga diberbagai belahan negeri di dunia, saat ini sibuk mempersiapkan diri dalam menghadapi era globalisasi terkadang diiringi dengan ketidaktahuan apa itu globalisasi, ia adalah hantu yang sangat menakutkan menghipnotis dan menggiring, mengarahkan umat manusia pada tubir jurang yang dibuat oleh mindsetter. Sekali lagi, tujuan dominasi kuasa tunggal atas dunia dalam satu genggaman adalah target yang sesungguhnya bukan lagi satu rahasia, dan sekali lagi bangsa-bangsa di dunia terjebak dalam mainstream pembentukan opini publik yang dikungkung dalam pemaknaan sempit terma terorisme, sehingga penjajahan alam pemikiran lewat jargon globalisasi tidak termasuk dalam terma ini.
Revrisond Basywir dalam catatannya, menyatakan ”Bahwa sebuah penipuan besar-besaran tampaknya sedang terjadi di seluruh dunia. Upaya sistematis yang dilakukan oleh kekuatan kapitalisme global untuk memperluas jangkauan pasarnya, kini berhasil dibungkus dan digulirkan ke seluruh penjuru dunia dengan nama dan citra baru. Dan hampir di seluruh dunia, termasuk negara-negara dunia ketiga yang menjadi sasaran utama ekspansi pasar kekuatan kapitalisme global itu, masyarakat luas cenderung menyambutnya dengan penuh suka cita. Pemerintah nasional di negara-negara dunia ketiga, kini sibuk mempersiapkan diri dan masyarakatnya untuk menyongsong sebuah tata kehidupan baru yang diperkenalkan kepada mereka dengan nama globalisasi…”.
Senada dengan Basywir, Dr. Mansour Fakih (Alm.) memasukkan globalisasi sebagai periode ketiga dari penjajahan terhadap Indonesia. Adapun penjajahan periode pertama, yakni kolonialisme, di mana terjadi ekspansi fisik-militer dalam mencari bahan baku mentah untuk dijadikan sebagai bahan-bahan produksi. Akibat dari kolonialisme inilah, sehingga terjadi penjajahan di benua Asia dan Afrika. Periode kedua, developmentalisme bukan lagi penjajahan fisik, tetapi sudah berupa hegemoni. Di mana negara-negara bekas penjajah melakukan penjajahan lewat teori-teori yang melahirkan dan mendukung pembangunan di dunia ketiga (negara-negara bekas jajahan).
Periode ketiga, yakni globalisasi, muncul dalam bentuk pengintegrasian ekonomi nasional ke dalam ekonomi dunia internasional yang didasarkan pada mekanisme pasar (invisible hands) dengan blok-blok ekonomi yang sudah dikastakan. Pasarlah yang menentukan sistem ekonomi dunia, peran pemerintah “dikerdilkan” dalam perdagangan tersebut. Pemerintah tidak lebih adalah lembaga yang dikendalikan oleh coorporate-coorporate, sehingga ia hanya merupakan kepanjangan tangan yang melahirkan kebijakan sesuai dengan kepentingan coorporate. Dalam situasi dan kondisi seperti ini maka komunitas masyarakat manusia tidak lebih dari sapi perah sekaligus pangsa pasar bagi segelintir manusia lainnya. Dengan demikian adagium Yunani kuno yang mengatakan homo homini lupus berlaku di sini, aspek moralitas, spiritual, demokrasi sepertinya hanya merupakan simbol-simbol lipstisck yang diteriakkan sebagai lagu penghantar tidur.
Pada bagian yang sama Drs. Mowo Purwito R., Dip. HRD, S.Th, MAR memberikan gambaran globalisasi dilihat berdasarkan Pandangan Kutub Interdependensi, Mowo menyatakan Globalization is the process of increasing interdependence among countries and their citizens in all aspect. (Globalisasi adalah proses peningkatan hubungan yang saling bergantung antar negara dan warga negara dalam segala aspek). Economic globalization is the process of increasing economic interdependence among countries and their citizens. (Globalisasi ekonomi adalah proses peningkatan saling kebergantungan ekonomi antar negara dan antar warga negara)
Selanjutnya Mowo menyampaikan pertanyaan, benarkah (globalisasi itu) indah? (dan) harmonis, jawaban untuk hal tersebut disampaikan Mowo dengan mengutip Prof. V. Lodge dalam bukunya “the impact of Globalization (1996) justru berpandangan negatif, globalisasi digambarkan sbg: “… a process forced by global flows of people, information, trade and capital. It is accelerated by technology, which is driven by only a few hundred multinational corporations and may be harmful to the environment. There in lies the conundrum of whether it is wise to leave globalization in the hands of these few corporations, or might it not make more sense to seek greater involvement from the global community”. Dari kutipan tersebut, menurut Mowo terdapat dua hal yang harus dicatat, yakni ; pertama ; Dunia dikendalikan oleh beberapa perusahaan multinasional. Kedua : Tersirat suatu kebohongan permainan kata yang tampaknya bijaksana, sehingga keberadaannya diterima setiap orang, sampai-sampai dunia rela menyerahkan diri dalam genggaman beberapa perusahaan.
Dengan demikian masih menurut Mowo, ekses dari globalisai dilihat fenomena nyatanya adalah : Globalisasi menciptakan “kebergantungan (dependensi) bukan saling kebergantungan (interdependensi), bahwa yang kuat justeru akan menindas yang lemah. Berpijak pada keterangan Mowo maka selanjutnya diperoleh suatu gambaran jika ternd globalisasi yang dengan sengaja dilemparkan didalamnya terdapat muatan-muatan dilihat dari sudut pandang kutub dependensi maka didapat suatu pesimisme yang menggambarkan dimensi globalisasi sebagai kurang lebih sama sebagaimana jargon One world and New order dalam satu genggam kuasa pembentuk kecenderungan (trendsetter), kutub dependensi memperlihatkan dimensi globalisasi sebagai berikut :
- Global capitalist economy & diminishing political power of nation-state governments (Right-wingers) (Terjadinya Ekonomi Kapitalis Global & Penurunan power pemerintahan negara)
- Social relations- “stretching” (Giddens)
(Interaksi Sosial Yang Semakin Melebar)
3. Culture – a sense of “global consciousness” (Robertson)
(Kebudayaan – suatu perasaan kesadaran global)
Selanjutnya proses globalisasi yang terus tergelinding, akan mengakibatkan Nation state is losing power (Negara Kebangsaan mengalami penurunan kekuasaan) ; pada berbagai aspek, seperti :
a). Economically:
1). Power of MNC (Kekuasaan Coorporate Internasional)
2). Forces of world market (Kekuatan Pasar Dunia)
b). Politically:
1). International bodies and law (Persekutuan & Hukum Internasional)
e.g. United Nations, European Union
c). Culturally:
1). Cultural influences from all over world (Pengaruh Kebudayaan dari segala penjuru dunia)
2). Trans-national media – public opinion (Media trans-nasional & Opini Publik)
Dengan demikian, logikanya bila dalam tiga hal tersebut sebuah negara sudah mengalami degradasi kuasa, maka apalah yang dapat ia pertahankan dan lakukan selain “seperti kerbau dicucuk hidung”, ia akan mengikuti kemana tuannya pergi.
Dari catatan-catatan di atas, setidaknya terdapat derivasi pengertian sebagai berikut ;
1). Telah terjadi penguasaan di bawah sadar, negara lemah oleh negara kuat.
2). Negara kuat didukung oleh coorporate-coorporate penyandang dana.
3). Ketika negara kuat mengeksploitasi negara lemah, maka sejatinya negara-negara tersebut berada dalam kendali coorporate.
4). Dengan demikian akhirnya terjadi apa yang dikatakan sebagai terorisme global dalam setiap aspek kehidupan.
Terdapat satu pertanyaan, siapa sesungguhnya yang berada dibalik semua itu ?. Siapapun adanya, muara dari semua secara singkat diutarakan jika, semua skenario berjalan mulus maka siapapun sutradaranya, dunia tidak lagi dipikul melainkan sudah dalam genggaman. Dan bagi mereka yang tidak waspada otomatis akan masuk dalam jurang “telah kehilangan kemerdekaan namun tidak merasa terjajah”, lagi sebuah ironi akibat gagal dalam memahami jargon terorisme yang menyelusup dalam bungkus penghancuran intelektual yang berakibat pada keruntuhan mental kreatif, merdeka dan mandiri. Dalam konteks kemanusiaan luas, korban terorisme intelektual hanya akan menjadi sebuah komoditas pasar, hasil dari produk sebuah sistem, robot yang yang tidak lagi memiliki landasan etika dan moral spiritual dalam kaukus komunitasnya.
Untuk tidak memperluas pembahasan, kita ambil contoh kasus dari terjadinya tindak terorisme intelektual yang menimpa umat Islam. Pasca bergulirnya reformasi (1998) yang oleh beberapa kalangan dikatakan sebagai reformasi prematur. Umat Islam Indonesia disentakkan oleh derasnya arus sekulerisasi, pluralisasi dan leberalisasi pada bidang keagamaanya, plus komunisme(biasa kemudian disebut dengan (SEPILIS) yang sesungguhnya dalam bahasa lain tidak lebih dari kata yang sepadan dengan westernisme yang dalam prosesnya disebut dengan westernisasi.
Karena bukankah sesungguhnya semua faham tersebut di atas lahir dan bermula tumbuh kembangnya dari dunia barat. Dimana banyak kalangan yang menyatakan bahwa faham-faham ini lahir sebagai bagian dari buah pemberontakan intelektual barat atas dogma-dogma keimanan gereja yang dianggap tidak sesuai dengan alur pemikiran rasional. Berakar dari pemberontakan ini kemudian muncul apa yang diistilahkan dengan teologi pembebasan, dan dari faham ini pula kemudian muncul teori-teori yang mengedepankan bahwa semua agama itu sama, bahkan lebih menariknya dari faham ini pula muncul sebuah gagasan yang menyatakan bahwa ” bahwa agama tidaklah lebih merupakan bagaian dari evolusi produk budaya”.
Catatan Hamid Fahmi Zarkasyi (Fenomena Pemikiran Islam: Pendekatan Liberal dan Tradisional, Sulteng Centre, Makalah seminar kerukunan inter dan antar umat beragama) menyatakan ” Pikiran yang menganggap semua agama itu sama telah lama masuk ke Indonesia dan beberapa negara Islam lainnya. Tapi akhir-akhir ini pikiran itu menjelma menjadi sebuah paham dan gerakan “baru” yang kehadirannya serasa begitu mendadak, tiba-tiba dan mengejutkan. Ummat Islam seperti mendapat kerja rumah baru dari luar rumahnya sendiri. Padahal ummat Islam dari sejak dulu hingga kini telah biasa hidup ditengah kebhinekaan atau pluralitas agama dan menerimanya sebagai realitas sosial. Piagam Madinah menjadi bukti terakomodirnya pluralitas agama dan kelompok saat itu. Apa sebenarnya dibalik gerakan ini?
Sebenarnya paham inipun bukan baru. Akar-akarnya seumur dengan akar modernisme di Barat dan gagasannya timbul dari perspektif dan pengalaman manusia Barat. Namun kalangan ummat Islam pendukung paham ini mencari-cari akarnya dari kondisi masyarakat Islam dan juga ajaran Islam. Kesalahan yang terjadi, akhirnya adalah menganggap realitas kemajmukan (pluralitas) agama-agama dan paham pluralisme agama sebagai sama saja. Parahnya, pluralisme agama malah dianggap realitas dan sunnatullah. Padahal keduanya sangat berbeda. Pertama (pluralitas agama) adalah kondisi dimana berbagai macam agama wujud secara bersamaan dalam suatu masyarakat atau Negara. Sedangkan yang kedua (pluralisme agama) adalah suatu paham yang menjadi tema penting dalam disiplin sosiologi, teologi dan filsafat agama yang berkembang di Barat dan juga agenda penting globalisasi.
Uniknya, faham ini kemudian menjadi sesuatu yang seolah tampil elegant dimana jika orang (seorang intelektual muslim) menganut faham ini maka ia akan ”dengan bantuan media masa” tampil sebagai sosok yang cerdas, gaul dan mendunia. Sementara di sisi lainnya, orang yang tidak mau mengikuti trend ini maka ia akan di cap sebagai anti kemoderenan, fundamentalis, tekstualis, puritan, kolot dan anti kemajuan. Bandingkan dengan cap yang sama ketika Indonesia berada pada awal abad XX, bukankah cap yang sama juga pernah disematkan kepada bagian kelompok masyarakat intelektual Islam kala itu ?.
Ketika teror material yang terindikasi merupakan matarantai rekayasa berhasil menyudutkan umat Islam pada satu sudut sempit, dengan tuntutan agar umat Islam Imdonesia harus mampu menunjukkan ” wajah Islam yang tersenyum, jauh dari kesan garang ” dan pada saat bersamaan telunjuk yang menuduh diarahkan langsung pada kantung-kantung pertahanan umat Islam, yakni ; pesantren sebagai sarang teroris. Maka muncullah suatu keraguan (enigma) atas bangun ajar Islam yang selama ini dianut dus menjadikan masyarakat Islam, spesifik p esantren kembali didudukan dalam posisi sebagai masyarakat inferior dan terbelakang.
Pada titik ini kemudian muncul tawaran, bila tawaran itu diterima maka masyarakat Islam penerimanya akan dianggap sebagai bagian masyarakat berkemajuan. Faham dimaksud adalah merupakan percikan dari pluralisme, dan liberalisme. Saat ini faham ini dengan sangat deras memasuki dunia pemikiran kalangan aktifis pesantren. Tidak sedikit kemudian aktifis tadi ”menyuarakan dengan sama persis ide-ide yang ditawarkan pada mereka oleh kalangan luar tadi”. Munculnya paradigma atau jargon ”dekonstruksi syari’at, kajian kritis atas Al qur’an, uji shahih atas kebenaran hadits, serta penempatan kritis atas posisi agama sebagai bagian budaya, siapa pemegang otoritas kebenaran, dst ” menjadi terma menarik yang dengan kencang juga lantang diusung oleh kalangan yang sudah terkontaminasi oleh pemikiran sepilis.
Pengarus utamaan gender (gender mainstreaming), feminisme, pluralitas sosial budaya, kebenaran relatif, humanisme dan isu Hak Azasi Manusia (HAM) serta isme-isme yang mengusung kebebasan pemikiran dengan dalih bahwa pintu ijtihad merupakan pintu yang senantiasa terbuka dan bebas dimasuki oleh siapa saja, dimana kemampuan akal manusia untuk mengeluarkan pandapat dan keyakinan menjadi suatu wacana yang terus dikembangkan hingga menyentuh pada tataran paling fundamental dalam Islam, yaitu : aspek Tauhid atau aqidah. Akibat kebebasan berfikir dan berpendapat yang tidak terekendali tersebut, tidaklah terlalu mengherankan jika kemudian muncul kalangan, yang menurut standar MUI paling tidak mengarah pada kesesatan kalau tudak dikatakan sesat sama sekali.
Hebatnya bagi kalangan pengusung sepilis ”dengan berdiri pada teori relativisme kebenaran”, menurut mereka hal itu sah adanya. diberbagai belahan negeri di dunia, saat ini sibuk mempersiapkan diri dalam menghadapi era globalisasi terkadang diiringi dengan ketidaktahuan apa itu globalisasi, ia adalah hantu yang sangat menakutkan. Bila disinyalir ada kelompok penghambat, mereka tidak segan untuk melakukan provokasi untuk menjungkirbalikkan fakta. Setelah fakta jungkirbalik, opini dibentuk hingga seolah mereka adalah kelompom yang teraniaya, skenario advokasi pun dilakukan, baik secara pribadi maupun institusi. Alhasil, yang terjadi adalah umat Islam saling bertumbukan jidat sendiri sementara aktor intelektual dibalik tersebarnya faham sepilis bertepuk tangan, mereka bergembira karena telah berhasil memecah belah keutuhan umat Islam, sampai pada hal paling mendasar.
Sayangnya, dalam persoalan ini, dikalangan umat Islam masih sangat sedikit yang menyadari bahwa ” ini adalah merupakan bagian dari terorisme intelektual” yang tidak hanya berakibat pada kepentingan duniawi mereka bahkan jauh menjangkau kepentingan ukhrawi yang selama ini merela kejar. Menyedihkannya lagi, efek dari terorisme ini tidak hanya akan berbekas pada satu generasi tetapi juga akan sangat memepengaruhi pola hidup generasi selanjutnya.
Kita mungkin adalah merupakan kelompok manusia yang sangat menolak segala bentuk tindak teror. Tapi dengan melihat pada catatan di atas tidaklah terlalu berlebihan kiranya jika kita juga mau bertanya.”dalam perbandingan, lebih jahat manakah antara terorisme material dibanding dengan terorisme intelektual ?”.
Dengan demikian, baik secara langsung ataupun tidak, virus sepilis yang meracuni alam fikiran individu maupun kelompok telah menjadi suatu sebab bagi lahirnya berbagai bentuk penyimpangan dalam memahami dan mengekspresikan keberagamaan yang alih-alih bertujuan untuk memurnikan dan meninggikan nilai-nilai transendental religius, justeru sebaliknya, malah mengotori dan menjatuhkan agama pada jurang yang sangat dalam. Demikian pemikiran ala sepilis, saat ini telah sangat teruk mempengaruhi sekelompok komunitas masyarakat Islam, dengan ide gamblang, yakni ”protestanisme Islam” menjadi sejenis kanker yang sangat ganas dalam struktur pemikiran keberagamaan masyarakat, khususnya Islam.
Program teror intelektual (pemikiran) tidak hanya dilakukan dengan melalui satu pintu, pintu lainnya juga sangat terbuka. Dengan membungkus diri serta dengan mengatas namakan seni dan budaya, teroris intelektual menebar jaring maut yang sangat rapat. Melalui peragaan mode busana, perlombaan ratu kecantikan, panggung musik, pesta olah raga serta quiz-quiz menarik lainnya, mereka berhasil menebar budaya hedonis dibanyak kalangan, khususnya generasi muda beragama. Akibatnya budaya konsumerisme deras menghantam pranata nilai, degradasi moral, pengumbaran syahwat pergaulan bebas (free sex dan sejenisnya) memberangus batas-batas etika dan estetika moral spiritual. Kalangan yang coba bertahan, akan di cap kuno, terbelakan, tidak gaul dan level miring lainnya, hingga seolah ”moralitas (etika dan estetika) yang menjunjung tinggi spirit kehormatan manusia” adalah hal yang menjijikan, primitif dan tidak berbudaya.
Satu dari sekian acara yang banyak digandrungi generasi muda adalah pesta persahabatan yang dikemas dalam berbagai bentuk, Valentine days adalah satu dari sekian kemasan yang ada. Mungkin juga dalam pertukaran pelajar dan pertukaran budaya, misi intinya adalah menciptakan one world, one culture, dengan target ”dari manapun asalnya, apapun budayanya, semua harus dalam kendali kuasa trendsetter”.
Teror terhadap nilai sosial dan budaya sangat massif menggelontor alam pemikiran, kapan dan dimanapun bangsa di dunia. Lewat kecanggihan TIK teroris intelektual merambah memasuki ruang material umat manusia (melintasi batas negara, dinding rumahtangga, sampai ruang pribadi) hingga ruang pemikiran yang paling halus dan tersembunyi. Intelektualitas manusia digarap sedemikian rupa dalam bentukan wacana modernitas yang telah diselewengkan ”seolah apapun yang datang dari sang dalang adalah positif”. Kreatifitas intelektual manusia dipacu hanya untuk memenuhi keinginan pangsa pasar, dimana semua bebas diperjual belikan, bahkan harga diri dan kehormatan serta kebanggaan sebagai sebuah komunitas, bangsa dan negara serta agama dapat saja dilepas dengan harga tertentu. Sayangnya, terlalu banyak orang yang bangga hanyut dalam arus deras international minded mengikuti kemauan ”Sang Koreografer” hingga lupa diri kemudian baru sadar setelah terjerumus dan tak berdaya untuk merubah takdir.
Masih banyak contoh lain yang dapat diungkap, namun setidaknya ”Berpijak pada catatan di atas, penting untuk diperhatikan dan dicatat bahwa, sesungguhnya laku terorisme intelektual jauh lebih jahat dari pada tindak terorisme material. Namun karena dijalankan dengan sangat halus, banyak dari umat ini yang terjebak dalam permainan logika maut sepilis. Pada titik ini sudah semestinya umat Islam menjaga dirinya dengan kewaspadaan tinggi agar tidak jatuh dalam jerat-jerat mematikan dalam bungkus intelektual”.
Semoga catatan di atas dapat menjadi tamsil ibarat, agar lebih meningkatkan kewaspadaan dalam menangkal segala bentuk tindak terorisme. Khususnya terorisme intelektual, yang akibatnya tidak hanya akan dirasakan hari ini, tetapi juga efeknya akan berlanjut pada generasi di belakang hari. Teror intelektual akan terus berbekas dan diwariskan menjadi ”sebagaimana sampah yang mengotori halaman rumah” jika rumahnya ingin bersih maka sampahnya harus disapu setiap hari. Teror intelektual adalah hantu yang menebarkan kegelapan dalam setiap helaan nafas kehidupan umat manusia, ia adalah kejahatan kemanusian yang sangat dan teramat sangat sulit untuk “jangankan dihapus” dikendalikanpun sangat sulit.
Dalam konteks berbangsa dan bernegara, dengan mengedepankan pemberlakuan Undang-Undang Otonomi Daerah (UU Otda ) No 32 Tahun 2004, dimana daerah diberikan kewenangan penuh untuk mengelola peotensi kedaerahannya. Kemudian memperhatikan pentingnya, serta memperhatikan realitas keragaman bangsa Indonesia adalah merupakan faktor mendasar jika semua harus mendapatkan pemahaman yang benar mengarah pada : pentingnya memberikan perlindungan kepada individu dalam masyarakat dari kemungkinan intervensi dan infiltrasi teroris intelektual dalam kehidupan dan interaksi sosialnya.
Pun demikian, akhirnya harus disadari, bahwa antara terorisme fisik dengan terorisme nonfisik adalah dua sisi mata uang, satu sisi memberikan andil nilai bagi sisi lainnya”. Sebagaimana dialektika dinamis, keduanya saling mengisi, pada satu kasus sangat mungkin seseorang direkrut dan diindoktrinasi dengan berbagai cara ( mungkin juga memakai metode hipnotis, temporal maupun permanen sebagai bagian pola cuci otak) kemudian dijadikan agen operator lapangan, seperti kasus bom Cirebon. Kasus lainnya, seseorang mungkin akan mengalami teror fisik terlebih dahulu ; mungkin dengan penculikan dan penyanderaan serta ancaman dalam berbagai bentuk untuk kemudian ditekan sedemikian rupa agar ia dapat dieksploitasi demi kepentingan pelaku teror.
F. Mungkin Dapat Jadi Renungan
Ternyata tidak mudah untuk siapapun untuk memberikan pengertian yang pas sekitar terorisme. Banyak hal yang menyertainya, banyak kepentingan yang menumpang juga banyak aktor dengan beragam motif serta tujuan serta ruang operasi yang sangat luas, sehingga jangankan bagi orang awam, para ahlipun terlihat belum bersepakat untuk menuntaskan dan menempatkan pengertian terorisme secara universal.
Motif ideologi dengan tujuan kuasa politik dan ekonomi adalah hal paling menonjol dalam tindak terorisme. Bagi negara-negara kuat, seperti AS dan Eropa, dengan standar gandanya, makna terorisme dikungkung dalam kepentingannya masing-masing. Dengan demikian tidak mengherankan bila terdapat suatu laku dari sekelompok atau mungkin negara yang dianggap menggangu kepentingannya, maka untuk hal tersebut AS dan Eropa akan memberikan cap teroris terhadap kelompok atau negara dimaksud. Akan tetapi jika mereka melakukan intervensi, termasuk ekspansi militer terhadap kelompok atau negara yang menjadi sasaran kepentinganya, maka mereka akan berteriak seolah mereka adalah hero “penegak demokrasi, pahlawan HAM ” dan lain-lain serta dengan kekuatan media massa membentuk opini publik sehingga apa yang mereka lakukan seolah legitimate. Sebaliknya kelompok atau negara korbannya disudutkan dengan berbagai embel-embel negatif sebagai teroris yang mengganggu ketertiban dunia.
Laku teror yang seringkali hadir di tengah kehidupan umat manusia, saat ini sudah bukan lagi rahasia jika itu dikendalikan oleh Multinasional Coorporate (MNC) di bawah koordinasi suatu organisasi yang berkepentingan menggenggam kuasa tunggal atas dunia. Haruskah untuk kepentingan segelintir manusia, kehormatan kemanusiaan sedunia dikorbankan ?. Ironi di atas ironi jika umat manusia di belahan negara manapun dan dalam sistem apapun saat ini hanyut dalam mainstream gagasan hampa yang dihembuskan untuk memenuhi ambisi kelompok atau organisasi dan mungkin juga bangsa yang ingin menjadikan lainnya sebagai budak-budak kepentingannya.
Oleh karena itu dibutuhkan kearifan tersendiri dalam memahami dan memaknai terorisme, diharapkan dengan kearifan itu siapapun tidak mudah untuk jatuh dan terjebak untuk menuduh dan memerangi kelompok lain dengan stempel teroris. Mengembalikan makna terorisme pada asal kata dan sejarahnya sepertinya akan menjadi suatu hal penting yang dapat mendasari pemaknaan terorisme, sehingga kedepannya tidak lagi terjadi pemaknaan serampangan atas terma terorisme, sebab bukan satu hal mustahil “mereka yang menuduh teroris justeru adalah teroris yang membungkus lakunya untuk mencapai kepentingan tertentu”.
Demikian, catatan ini tersampaikan, sebuah sudut pandang orang kampung sebagai sebuah tinjauan atas pemaknaan dan laku terorisme yang tengah gegap gempita berlangsung di atas pentas panggung kemanusiaan dunia. Bila ada yang salah, silahkan betulin sendiri, jika kurang pas bolehlah cari yang pas sendiri. Untuk Indonesia, “ cukuplah bangsa dan negara ini terjebak dan saling berbenturan sendiri, bangsa ini butuh kedamaian untuk mencapai cita merdekanya”.
Maaf untuk yang tersinggung dan terimakasih buat yang telah bantu.