TERORISMA bagian 3

E. Terorisme Fisik Dan Terorisme Nonfisik

  1. Terorisme Fisik 

Terorisme fisik yang dimaksud di sini adalah tindak teror yang mengakibatkan kerusakan fisik (material) pada berbagai aspek kehidupan yang terkait dengan makhluk hidup maupun benda mati. Kerusakan yang terjadi bagi makhluk hidup dapat berupa cacat fisik permanen, bisa juga kematian langsung, sedangkan berkaitan dengan benda mati dapat berbentuk kerusakan ringan hingga berat sampai kehancuran total.

Berbagai kasus teror fisik telah terjadi diberbagai belahan bumi, hanya saja kejadian tersebut seringkali berada pada makna yang sangat terbatas. Aksi teror terkungkung pada peristiwa-peristiwa terbatas, seperti ; peledakan bom, pembajakan pesawat, penculikan dan penyanderaan. Sayangnya hal ini kemudian diberitakan pada porsi yang berlebihan serta berulang-ulang sehingga menciptakan suatu image di alam pemikiran masyarakat bahwa suatu tindakan baru dikatakan laku teror bila terkait dengan hal-hal tersebut. Padahal sesungguhnya, sebagaimana disebutkan di atas teror adalah suatu tindakan yang dapat merusak berbagai aspek kehidupan makhluk hidup, khususnya manusia dan lingkungannya.

Aspek-aspek kehidupan manusia tentu saja sangat luas, kemapanan ideologi, stabilitas politik, kesejahteraan ekonomi dan keteraturan pranata sosial budaya, termasuk didalamnya aspek pendidikan, hukum dan lingkungan hidup. Akibat pemaknaan yang terbelenggu dalam bentukan pemikiran (imagery) opini yang mengalir dalam kehidupan masyarakat tentang laku teror mengalami  penyempitan yang luar biasa, sampai kemudian peregangan ideologi, runtuhnya stabilitas politik, hancurnya fundamental ekonomi serta kekacauan sistem sosial budaya juga tidak berfungsinya hukum secara benar akibat ulah atau perilaku seorang atau lebih, pelakunya tidak dikatakan sebagai teroris, serta perbuatannya lepas dari terma terororisme.

Jadi tidaklah mengherankan, jika justifikasi yang diberikan baik oleh pengadilan maupun yang dilakukan langsung oleh masyarakat pun terasa sangat lemah dan tidak menyentuh pada akar persoalan. Pada mereka yang melakukan tindak teror pada tataran ideologi dan politik, masih terdapat kata-kata pelaku makar atau dulu dikatakan pelaku subversif, tetapi bagaimana dengan pelaku teror pada tataran ekonomi, seperti koruptor yang dengan leluasa menikmati hasil korupsinya ? atau pengemplang pajak yang masih bisa melenggang ?. Tengok beberapa kasus korupsi, seperti kasus Bantuan Likuaiditas Bank Indonesia (BLBI) yang sepertinya belum terselesaikan, kasus Ayin dengan vonis ringan belakangan kayus mafia pajak dan mafia hukum Gayus HT dab Cirus S, bandingkan dengan hukum pelaku KDRT yang diancam dengan hukuman hingga lima belas tahun.

Kasus Narkotika, Psiko tropika dan zat adiktif (Napza) serta bebas edarnya minuman keras (miras)., dipandang darisudut pandang hukum, maka tidak ada tidak ada hukum manapun yang menganggap penggunaan Napza dan Miras yang tidak pada tempatnya adalah merupakan hal yang baik. Begitu juga bila hal tadi ditinjau dari presfektif etika dan moral keagamaan. Coba hitung berapa kerugian yang dialami oleh bangsa dan negara Indonesia pertahun akibat kasus Napza ?.

Sayangnya sampai hari ini, produsen, pengedar maupun perlakuan terhadap korban, khususnya bagi produsen dan pengedar belum memperlihatkan ketegasan yang nyata, apalagi sampai pada tahap memasukkan mereka sebagai pelaku tindak terorisme. Padahal kalau dihitung, sudah bukan lagi pada angka ribuan yang menjadi korban, mungkin kalau keseluruhannya dihitung maka akan sampai pada hitungan juta.  Apalagi kalau kemudian dicermati, penggunaan Napza dan Miras yang tidak pada tempatnya, tidak hanya berefek pada kerusakan fisik hari ini, tetapi pun juga berefek pada aspek moral dan mental korban hingga masa yang cukup lama, jika tidak dikatakan permanen. Bandingkan, mana yang lebih besar biaya untuk rehabilitasi kerusakan yang diakibatkan meletupnya Bom Bali atau biaya rehabilitasi korban  penggunaan Napza dan Miras yang tidak pada tempatnya ?. Sampai kapan hal ini akan terus kita biarkan ?.

Perlakuan bagi para koruptor, pengemplang pajak serta pelaku kejahatan ekonomi lainnya juga pelaku kejahatan Napza dan kejahatan (mafia) hukum, sampai hari ini masih dapat bernafas lega karena cap terorisme belum juga mampir pada kening mereka. Bila saja cap teroris itu distempelkan pada jidat mereka, tentu perlakuan hukum pun akan berbeda, plus pemahaman masyarakat tentang terorisme juga akan mengalami perubahan, seiring peluasan ruang dan makna terorisme dalam berbagai aspek kehidupan.

Lalu bagaimana dengan perusakan lingkungan yang dilakukan secara sadar ?. Adalah suatu hal yang sangat aneh bagi bangsa yang besar ini, ketika  alam lingkungan tempat dia hidup ”dengan berbagai alasan” dirusak oleh sekelompok orang, sementara mereka diam saja. Sebagai contoh dapat kita lihat pada kerusakan lingkungan akibat eksplorasi galian C (penambangan pasir) disuatu lokasi penambangan. Kerusakan ekosistem di tempat tersebut sudah mencapai tarap sangat mengkhawatirkan. Sementara masyarakat disekitarnya tidak berdaya untuk melakukan pencegahan, karena takut untuk berhadapan dengan sistem yang melindungi corporate yang melakukan eksplorasi tersebut, legal ataupun illegal.

”Apakah masyarakat diuntungkan dengan aktifitas tersebut ?”, untuk menjawab dan atau mengajukan satu pertanyaan ini saja, kelihatan seolah masyarakat takut. Padahal resiko yang harus mereka tanggungkan sulit untuk diukur, seperti kalau diajukan pertanyaan ”berapa ganti rugi yang harus dikeluarkan untuk kerusakan lingkungan yang permanen ?”. Lalu coba tambahkan dengan pertanyaan, ”berapa kerugian kerusakan sosio culture yang harus ditanggungkan oleh masyarakat ?”. Karena, bukankah akibat eksplorasi galian C kemudian berefek pada perubahan sikap hidup dan pranata sosial yang ada.

Kemudian bagaimana dengan penambangan-penambangan lainnya?. Eksplorasi batu bara, penambangan timah, emas dan deretan penambangan lainnya yang tersebar dihampir setiap pelosok negeri, lalu tambahkan dengan perusakan hutan akibat pembalakan liar. Penambangan dan pembalakan liar yang dilakukan dengan tidak memperhitungkan efek Analisis Dampak Lingkungan (Amdal), menghasilkan kerusakan lingkungan yang luar biasa, kerusakan ekosistem dari hulu sampai hilir  sungguh suatu hal yang mengerikan. Tapi, lagi pelaku-pelakunya lepas dari terma teroris, hanya karena makna terorisme secara tidak sengaja telah terdegradasi pada ruang dan laku yang sangat terbatas.

Mari kita coba lihat dari kaca pandang akademis. Dari sudut psikologis, pelan namun pasti terjadi proses pengendapan informasi bawah sadar. Dimana eksplorasi lingkungan yang dilakukan untuk mendapatkan keuntungan oleh sekelompok orang, akan membentuk sikap lunturnya penghargaan atas alam yang seharusnya dipelihara kelestariannya, atau jika dilakukan eksplorasi maka hal itu harus diiringi dengan kemauan kuat untuk dapat dilakukan upaya rehabilitatif atas kemungkinan terjadinya kerusakan lingkungan.

 Efek lain yang timbul, dipandang dari kaca pandang sosiologi adalah;  tumbuhnya premanisme terselubung, beredarnya miras dengan bebas dan bahkan mungkin prostitusi. Lebih jauhnya, hilangnya nilai-nilai kultural masyarakat agraris, seperti ; tumbuhnya kelompok masyarakat yang dengan terpaksa ikut arus karena lahan garapnya tergusur, terutama masyarakat petani penggarap. Ketika mereka tidak terserap bekerja dalam lingkungan corporate, maka mereka kemudian mengangur,terjadilah kemudian munculnya masyarakat miskin baru.

 Lalu dengan cara apa mereka harus bertahan hidup ?, bagaimana mereka membiayai anak-anaknya sekolah ?, apakah mungkin bagi mereka dapat mengakses kepentingan yang berhubungan dengan kepentingan kesehatan ?. Sederet pertanyaan panjang lain, yang berhubungan dengan aspek sosial dan kultural  masyarakat masih mungkin untuk  diajukan, namun kenyataannya sampai hari ini, kita masih terdiam.  

Padahal kalau dirunut dengan rancak, maka akan didapat suatu korelasi yang kuat antara kemiskinan, keterbelakangan dan rendahnya kualitas pendidikan dengan berbagai aspek penyimpangan perilaku sosial, termasuk dalam hal ini penyimpangan dalam beragama dan berkeyakinan.

  1. Terorisme Nonfisik

Terorisme nonfisik yang dimaksud di sini adalah teror yang berakibat pada kerusakan moral, mental sipiritual obyek sasarannya. Lunturnya keyakinan atas ideologi negara, degradasi keberagamaan, munculnya budaya korup yang menegasikan kejujuran, eleminisai nilai-nilai kesetiakawanan, persatuan dan kesatuan serta persaudaraan juga memudarnya rasa kebanggaan sebagai sebuah keomunitas, berbangsa dan bernegara adalah merupakan contoh-contoh yang merupakan bagian dari hasil kinerja laku teroris intelektual.

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) yang pesat, pada satu sisi memberikan manfaat besar bagi kehidupan umat manusia, namun pada sisi lainnya, tidaklah selalu demikian.  Dunia saat ini seolah tidak lagi memiliki batas yang sesungguhnya, kecanggihan TIK memiliki daya tembus yang sangat dahsyat, tidak hanya batas wilayah antar negara bahkan jauh menusuk batas-batas kehidupan pribadi umat manusia. Dunia tanpa batas, dunia yang rata atau kadang juga disebutkan kampung besar sebuah artikulasi yang melahirkan kata globalisasi.  Globalisasi menjadi jargon yang menekan dan mempengaruhi alam bawah sadar manusia, hingga diberbagai belahan negeri di dunia, saat ini sibuk mempersiapkan diri dalam menghadapi era globalisasi terkadang diiringi dengan ketidaktahuan apa itu globalisasi, ia adalah hantu yang sangat menakutkan menghipnotis dan menggiring, mengarahkan umat manusia pada tubir jurang yang dibuat oleh mindsetter. Sekali lagi, tujuan dominasi kuasa tunggal  atas dunia dalam satu genggaman adalah target yang sesungguhnya bukan lagi satu rahasia, dan sekali lagi bangsa-bangsa di dunia terjebak dalam mainstream pembentukan opini publik yang dikungkung dalam pemaknaan sempit terma terorisme, sehingga penjajahan alam pemikiran lewat jargon globalisasi tidak termasuk dalam terma ini.

Revrisond Basywir dalam catatannya, menyatakan ”Bahwa sebuah penipuan besar-besaran tampaknya sedang terjadi di seluruh dunia. Upaya sistematis yang dilakukan oleh kekuatan kapitalisme global untuk memperluas jangkauan pasarnya, kini berhasil dibungkus dan digulirkan ke seluruh penjuru dunia dengan nama dan citra baru. Dan hampir di seluruh dunia, termasuk negara-negara dunia ketiga yang menjadi sasaran utama ekspansi pasar kekuatan kapitalisme global itu, masyarakat luas cenderung menyambutnya dengan penuh suka cita. Pemerintah nasional di negara-negara dunia ketiga, kini sibuk mempersiapkan diri dan masyarakatnya untuk menyongsong sebuah tata kehidupan baru yang diperkenalkan kepada mereka dengan nama globalisasi…”.

Senada dengan Basywir, Dr. Mansour Fakih (Alm.) memasukkan globalisasi sebagai periode ketiga dari penjajahan terhadap Indonesia. Adapun penjajahan periode pertama, yakni kolonialisme, di mana terjadi ekspansi fisik-militer dalam mencari bahan baku mentah untuk dijadikan sebagai bahan-bahan produksi. Akibat dari kolonialisme inilah, sehingga terjadi penjajahan di benua Asia dan Afrika. Periode kedua, developmentalisme bukan lagi penjajahan fisik, tetapi sudah berupa hegemoni. Di mana negara-negara bekas penjajah melakukan penjajahan lewat teori-teori yang melahirkan dan mendukung pembangunan di dunia ketiga (negara-negara bekas jajahan).

Periode ketiga, yakni globalisasi, muncul dalam bentuk pengintegrasian ekonomi nasional ke dalam ekonomi dunia internasional yang didasarkan pada mekanisme pasar (invisible hands) dengan blok-blok ekonomi yang sudah dikastakan. Pasarlah yang menentukan sistem ekonomi dunia, peran pemerintah “dikerdilkan” dalam perdagangan tersebut. Pemerintah tidak lebih adalah lembaga yang dikendalikan oleh coorporate-coorporate, sehingga ia hanya merupakan kepanjangan tangan yang melahirkan kebijakan sesuai dengan kepentingan coorporate. Dalam situasi dan kondisi seperti ini maka komunitas masyarakat manusia tidak lebih dari sapi perah sekaligus pangsa pasar bagi segelintir manusia lainnya. Dengan demikian adagium Yunani kuno yang mengatakan homo homini lupus berlaku di sini, aspek moralitas, spiritual, demokrasi sepertinya hanya merupakan simbol-simbol lipstisck yang diteriakkan sebagai lagu penghantar tidur.

Pada bagian yang sama Drs. Mowo Purwito R., Dip. HRD, S.Th, MAR memberikan gambaran globalisasi dilihat berdasarkan Pandangan Kutub Interdependensi, Mowo menyatakan Globalization is the process of increasing interdependence among countries and their citizens in all aspect. (Globalisasi adalah proses peningkatan hubungan yang saling bergantung antar negara dan warga negara dalam segala aspek). Economic globalization is the process of increasing economic interdependence among countries and their citizens. (Globalisasi ekonomi adalah proses peningkatan saling kebergantungan ekonomi antar negara dan antar warga negara)

Selanjutnya Mowo menyampaikan pertanyaan, benarkah (globalisasi itu) indah? (dan) harmonis, jawaban untuk hal tersebut disampaikan Mowo dengan mengutip Prof. V. Lodge dalam bukunya “the impact of Globalization (1996) justru berpandangan negatif, globalisasi digambarkan sbg: “… a process forced by global flows of people, information, trade and capital. It is accelerated by technology, which is driven by only a few hundred multinational corporations and may be harmful to the environment. There in lies the conundrum of whether it is wise to leave globalization in the hands of these few corporations, or might it not make more sense to seek greater involvement from the global community”. Dari kutipan tersebut, menurut Mowo terdapat dua hal yang harus dicatat, yakni ; pertama ; Dunia dikendalikan oleh beberapa perusahaan multinasional. Kedua : Tersirat suatu kebohongan permainan kata yang tampaknya  bijaksana, sehingga keberadaannya diterima setiap orang, sampai-sampai dunia rela menyerahkan diri dalam genggaman beberapa perusahaan.

Dengan demikian masih menurut Mowo, ekses dari globalisai dilihat fenomena nyatanya adalah : Globalisasi menciptakan “kebergantungan (dependensi) bukan saling kebergantungan (interdependensi), bahwa yang kuat justeru akan menindas yang lemah. Berpijak pada keterangan Mowo maka selanjutnya diperoleh suatu gambaran jika ternd globalisasi yang dengan sengaja dilemparkan didalamnya terdapat muatan-muatan dilihat dari sudut pandang kutub dependensi maka didapat suatu pesimisme yang menggambarkan dimensi globalisasi sebagai kurang lebih sama sebagaimana jargon One world and New order dalam satu genggam kuasa pembentuk kecenderungan (trendsetter), kutub dependensi memperlihatkan dimensi globalisasi sebagai berikut :

    1. Global capitalist economy & diminishing political power of nation-state governments (Right-wingers) (Terjadinya Ekonomi Kapitalis Global & Penurunan power pemerintahan negara)
    2. Social relations- “stretching” (Giddens)

(Interaksi Sosial Yang Semakin Melebar)

                  3.   Culture – a sense of “global consciousness” (Robertson)

(Kebudayaan – suatu perasaan kesadaran global)

Selanjutnya proses globalisasi yang terus tergelinding, akan mengakibatkan Nation state is losing power (Negara Kebangsaan mengalami penurunan kekuasaan) ; pada berbagai aspek, seperti :

a). Economically:

1). Power of MNC (Kekuasaan Coorporate Internasional)

2). Forces of world market (Kekuatan Pasar Dunia)

b). Politically:

1). International bodies and law (Persekutuan & Hukum  Internasional)

     e.g. United Nations, European Union

c). Culturally:

      1). Cultural influences from all over world (Pengaruh Kebudayaan dari    segala penjuru dunia)

2). Trans-national media – public opinion (Media trans-nasional & Opini Publik)

Dengan demikian, logikanya bila dalam tiga hal tersebut sebuah negara sudah mengalami degradasi kuasa, maka apalah yang dapat ia pertahankan dan lakukan selain “seperti kerbau dicucuk hidung”, ia akan  mengikuti  kemana tuannya pergi.

Dari catatan-catatan di atas, setidaknya terdapat derivasi pengertian sebagai berikut ;

            1). Telah terjadi penguasaan di bawah sadar, negara lemah oleh negara kuat.

            2). Negara kuat didukung oleh coorporate-coorporate penyandang dana.

            3). Ketika negara kuat mengeksploitasi negara lemah, maka sejatinya negara-negara tersebut berada dalam kendali coorporate.

            4). Dengan demikian akhirnya terjadi apa yang dikatakan sebagai terorisme global dalam setiap aspek kehidupan.

                        Terdapat satu pertanyaan, siapa sesungguhnya yang berada dibalik semua itu ?. Siapapun adanya, muara dari semua secara singkat diutarakan jika, semua skenario berjalan mulus maka siapapun sutradaranya, dunia tidak lagi dipikul melainkan sudah dalam genggaman. Dan bagi mereka yang tidak waspada otomatis akan masuk dalam jurang “telah kehilangan kemerdekaan namun tidak merasa terjajah”, lagi sebuah ironi akibat gagal dalam memahami jargon terorisme yang menyelusup dalam bungkus penghancuran intelektual yang berakibat pada keruntuhan mental kreatif, merdeka dan mandiri. Dalam konteks kemanusiaan luas, korban terorisme intelektual hanya akan menjadi sebuah komoditas pasar, hasil dari produk sebuah sistem, robot yang yang tidak lagi memiliki landasan etika dan moral spiritual dalam kaukus komunitasnya.

Untuk tidak memperluas pembahasan, kita ambil contoh kasus dari terjadinya tindak terorisme intelektual yang menimpa umat Islam. Pasca bergulirnya reformasi (1998) yang oleh beberapa kalangan dikatakan sebagai reformasi prematur. Umat Islam Indonesia disentakkan oleh derasnya arus sekulerisasi, pluralisasi dan leberalisasi pada bidang keagamaanya, plus komunisme(biasa kemudian disebut dengan (SEPILIS) yang sesungguhnya dalam bahasa lain tidak lebih dari kata yang sepadan dengan westernisme yang dalam prosesnya disebut dengan westernisasi.

Karena bukankah sesungguhnya semua faham tersebut di atas lahir dan bermula tumbuh kembangnya dari dunia barat. Dimana banyak kalangan yang menyatakan bahwa faham-faham ini lahir sebagai bagian dari buah pemberontakan intelektual barat atas dogma-dogma keimanan gereja yang dianggap tidak sesuai dengan alur pemikiran rasional. Berakar dari pemberontakan ini kemudian muncul apa yang diistilahkan dengan teologi pembebasan, dan dari faham ini pula kemudian muncul teori-teori yang mengedepankan bahwa semua agama itu sama, bahkan lebih menariknya dari faham ini pula muncul sebuah gagasan yang menyatakan bahwa ” bahwa agama tidaklah lebih merupakan bagaian dari evolusi produk budaya”.     

Catatan Hamid Fahmi Zarkasyi (Fenomena Pemikiran Islam: Pendekatan Liberal dan Tradisional, Sulteng Centre, Makalah seminar kerukunan inter dan antar umat beragama)  menyatakan ” Pikiran yang menganggap semua agama itu sama telah lama masuk ke Indonesia dan beberapa negara Islam lainnya. Tapi akhir-akhir ini pikiran itu menjelma menjadi sebuah paham dan gerakan “baru” yang kehadirannya serasa begitu mendadak, tiba-tiba dan mengejutkan. Ummat Islam seperti mendapat kerja rumah baru dari luar rumahnya sendiri. Padahal ummat Islam dari sejak dulu hingga kini telah biasa hidup ditengah kebhinekaan atau pluralitas agama dan menerimanya sebagai realitas sosial. Piagam Madinah menjadi bukti terakomodirnya pluralitas agama dan kelompok saat itu. Apa sebenarnya dibalik gerakan ini?

Sebenarnya paham inipun bukan baru. Akar-akarnya seumur dengan akar modernisme di Barat dan gagasannya timbul dari perspektif dan pengalaman manusia Barat. Namun kalangan ummat Islam pendukung paham ini mencari-cari akarnya dari kondisi masyarakat Islam dan juga ajaran Islam. Kesalahan yang terjadi, akhirnya adalah menganggap realitas kemajmukan (pluralitas) agama-agama dan paham pluralisme agama sebagai sama saja. Parahnya, pluralisme agama malah dianggap realitas dan sunnatullah. Padahal keduanya sangat berbeda. Pertama (pluralitas agama) adalah kondisi dimana berbagai macam agama wujud secara bersamaan dalam suatu masyarakat atau Negara. Sedangkan yang kedua (pluralisme agama) adalah suatu paham yang menjadi tema penting dalam disiplin sosiologi, teologi dan filsafat agama yang berkembang di Barat dan juga agenda penting globalisasi.

Uniknya, faham ini kemudian menjadi sesuatu yang seolah tampil elegant dimana jika orang (seorang intelektual muslim) menganut faham ini maka ia akan ”dengan bantuan media masa” tampil sebagai sosok yang cerdas, gaul dan mendunia. Sementara di sisi lainnya, orang yang tidak mau mengikuti trend ini maka ia akan di cap sebagai anti kemoderenan, fundamentalis, tekstualis, puritan, kolot dan anti kemajuan. Bandingkan dengan cap yang sama ketika  Indonesia berada pada awal abad XX, bukankah cap yang sama juga pernah disematkan kepada bagian kelompok masyarakat intelektual Islam kala itu ?.

Ketika teror material yang terindikasi merupakan matarantai rekayasa berhasil menyudutkan umat Islam pada satu sudut sempit, dengan tuntutan agar umat Islam Imdonesia harus mampu menunjukkan ” wajah Islam yang tersenyum, jauh dari kesan garang ” dan pada saat bersamaan telunjuk yang menuduh diarahkan langsung pada kantung-kantung pertahanan umat Islam, yakni ; pesantren sebagai sarang teroris. Maka muncullah suatu keraguan (enigma) atas bangun ajar Islam yang selama ini dianut dus menjadikan masyarakat Islam, spesifik p esantren kembali didudukan dalam posisi sebagai masyarakat inferior dan terbelakang.

Pada titik ini kemudian muncul tawaran, bila tawaran itu diterima maka masyarakat Islam penerimanya akan dianggap sebagai bagian masyarakat berkemajuan. Faham dimaksud adalah merupakan percikan dari pluralisme, dan liberalisme. Saat ini faham ini dengan sangat deras memasuki dunia pemikiran kalangan aktifis pesantren. Tidak sedikit kemudian aktifis tadi ”menyuarakan dengan sama persis ide-ide yang ditawarkan pada mereka oleh kalangan luar tadi”. Munculnya paradigma atau jargon ”dekonstruksi syari’at, kajian kritis atas Al qur’an, uji shahih atas kebenaran hadits, serta penempatan kritis atas posisi agama sebagai bagian budaya, siapa pemegang otoritas kebenaran, dst ”  menjadi terma menarik yang dengan kencang juga lantang diusung oleh kalangan yang sudah terkontaminasi oleh pemikiran sepilis.

Pengarus utamaan gender (gender mainstreaming), feminisme, pluralitas sosial budaya, kebenaran relatif,  humanisme dan isu Hak Azasi Manusia (HAM) serta isme-isme yang mengusung kebebasan pemikiran dengan dalih bahwa pintu ijtihad merupakan pintu yang senantiasa terbuka dan bebas dimasuki oleh siapa saja, dimana kemampuan akal manusia untuk mengeluarkan pandapat dan keyakinan menjadi suatu wacana yang terus dikembangkan hingga menyentuh pada tataran paling fundamental dalam Islam, yaitu : aspek Tauhid atau aqidah. Akibat kebebasan berfikir dan berpendapat yang tidak terekendali tersebut, tidaklah terlalu mengherankan jika kemudian muncul kalangan, yang menurut standar MUI paling tidak mengarah pada kesesatan kalau tudak dikatakan sesat sama sekali.

Hebatnya bagi kalangan pengusung sepilis ”dengan berdiri pada teori relativisme kebenaran”, menurut mereka hal itu sah adanya. diberbagai belahan negeri di dunia, saat ini sibuk mempersiapkan diri dalam menghadapi era globalisasi terkadang diiringi dengan ketidaktahuan apa itu globalisasi, ia adalah hantu yang sangat menakutkan. Bila disinyalir ada kelompok penghambat, mereka tidak segan untuk melakukan provokasi untuk menjungkirbalikkan fakta. Setelah fakta jungkirbalik, opini dibentuk hingga seolah mereka adalah kelompom yang teraniaya, skenario advokasi pun dilakukan, baik secara pribadi maupun institusi. Alhasil, yang terjadi adalah umat Islam saling bertumbukan jidat sendiri sementara aktor intelektual dibalik tersebarnya faham sepilis bertepuk tangan, mereka bergembira karena telah berhasil memecah belah keutuhan umat Islam, sampai pada hal paling mendasar.

Sayangnya, dalam persoalan ini, dikalangan umat Islam masih sangat sedikit yang menyadari bahwa ” ini adalah merupakan bagian dari terorisme intelektual” yang tidak hanya berakibat pada kepentingan duniawi mereka bahkan jauh menjangkau kepentingan ukhrawi yang selama ini merela kejar. Menyedihkannya lagi, efek dari terorisme ini tidak hanya akan berbekas pada satu generasi tetapi juga akan sangat memepengaruhi pola hidup generasi selanjutnya.

Kita mungkin adalah merupakan kelompok manusia yang sangat menolak segala bentuk tindak teror. Tapi dengan melihat pada catatan di atas tidaklah terlalu berlebihan kiranya jika kita juga mau bertanya.”dalam perbandingan, lebih jahat manakah  antara terorisme material dibanding dengan terorisme intelektual ?”.

Dengan demikian, baik secara langsung ataupun tidak, virus sepilis yang meracuni alam fikiran individu maupun kelompok telah menjadi suatu sebab bagi lahirnya berbagai bentuk penyimpangan dalam memahami dan mengekspresikan keberagamaan yang alih-alih bertujuan untuk memurnikan dan meninggikan nilai-nilai transendental religius, justeru sebaliknya, malah mengotori dan menjatuhkan agama pada jurang yang sangat dalam. Demikian pemikiran ala sepilis,  saat ini telah sangat teruk mempengaruhi sekelompok komunitas masyarakat Islam, dengan ide  gamblang, yakni ”protestanisme Islam” menjadi sejenis kanker yang sangat ganas dalam struktur pemikiran keberagamaan masyarakat, khususnya Islam.

Program teror intelektual (pemikiran) tidak hanya dilakukan dengan melalui satu pintu, pintu lainnya juga sangat terbuka. Dengan membungkus diri serta dengan mengatas namakan seni dan budaya, teroris intelektual menebar jaring maut yang sangat rapat. Melalui peragaan mode busana, perlombaan ratu kecantikan, panggung musik, pesta olah raga serta quiz-quiz menarik lainnya, mereka berhasil menebar budaya hedonis dibanyak kalangan, khususnya generasi muda beragama. Akibatnya budaya konsumerisme deras menghantam pranata nilai, degradasi moral, pengumbaran syahwat pergaulan bebas (free sex dan sejenisnya) memberangus batas-batas etika dan estetika moral spiritual. Kalangan yang coba bertahan, akan di cap kuno, terbelakan, tidak gaul dan level miring lainnya, hingga seolah ”moralitas (etika dan estetika) yang menjunjung tinggi spirit kehormatan manusia” adalah hal yang menjijikan, primitif dan tidak berbudaya.

Satu dari sekian acara yang banyak digandrungi generasi muda adalah pesta persahabatan yang dikemas dalam berbagai bentuk, Valentine days adalah satu dari sekian kemasan yang ada. Mungkin juga dalam pertukaran pelajar dan pertukaran budaya, misi intinya adalah menciptakan one world, one culture, dengan target ”dari manapun asalnya, apapun  budayanya, semua harus dalam kendali kuasa trendsetter”.

Teror terhadap nilai sosial dan budaya sangat massif menggelontor alam pemikiran, kapan dan dimanapun bangsa di dunia. Lewat kecanggihan TIK teroris intelektual merambah memasuki ruang material umat manusia (melintasi batas negara, dinding rumahtangga, sampai ruang pribadi) hingga ruang pemikiran yang paling halus dan tersembunyi. Intelektualitas manusia digarap sedemikian rupa dalam bentukan wacana modernitas yang telah diselewengkan ”seolah apapun yang datang dari sang dalang adalah positif”. Kreatifitas intelektual manusia dipacu hanya untuk memenuhi keinginan pangsa pasar, dimana semua bebas diperjual belikan, bahkan harga diri dan kehormatan serta kebanggaan sebagai sebuah komunitas, bangsa dan negara serta agama dapat saja dilepas dengan harga tertentu. Sayangnya, terlalu banyak orang yang bangga hanyut dalam arus deras international minded mengikuti kemauan ”Sang Koreografer” hingga lupa diri kemudian baru sadar setelah terjerumus dan tak berdaya untuk merubah takdir.

Masih banyak contoh lain yang dapat diungkap, namun setidaknya ”Berpijak pada catatan di atas,  penting untuk diperhatikan dan dicatat bahwa, sesungguhnya laku terorisme intelektual jauh lebih jahat dari pada tindak terorisme material. Namun karena dijalankan dengan sangat halus, banyak dari umat ini yang terjebak dalam permainan logika maut sepilis. Pada titik ini sudah semestinya umat Islam menjaga dirinya dengan kewaspadaan tinggi agar tidak jatuh dalam jerat-jerat mematikan dalam bungkus intelektual”.

Semoga catatan di atas dapat menjadi tamsil ibarat, agar lebih meningkatkan kewaspadaan dalam menangkal segala bentuk tindak terorisme. Khususnya terorisme intelektual, yang akibatnya tidak hanya akan dirasakan hari ini, tetapi juga efeknya akan berlanjut pada generasi di belakang hari. Teror intelektual akan terus berbekas dan diwariskan menjadi ”sebagaimana sampah yang mengotori halaman rumah” jika rumahnya ingin bersih maka sampahnya harus disapu setiap hari.  Teror intelektual adalah hantu yang menebarkan kegelapan  dalam setiap helaan nafas kehidupan umat manusia, ia adalah kejahatan kemanusian yang sangat dan teramat sangat sulit untuk “jangankan dihapus” dikendalikanpun sangat sulit.

Dalam konteks berbangsa dan bernegara, dengan mengedepankan pemberlakuan Undang-Undang Otonomi Daerah (UU Otda ) No 32 Tahun 2004, dimana daerah diberikan kewenangan penuh untuk mengelola peotensi kedaerahannya. Kemudian memperhatikan pentingnya, serta memperhatikan realitas keragaman bangsa Indonesia adalah merupakan faktor mendasar jika semua harus mendapatkan pemahaman yang benar mengarah pada : pentingnya memberikan perlindungan kepada individu dalam masyarakat dari kemungkinan intervensi dan infiltrasi teroris intelektual dalam kehidupan dan interaksi sosialnya.

Pun demikian, akhirnya harus disadari, bahwa antara terorisme fisik dengan terorisme nonfisik adalah dua sisi mata uang, satu sisi memberikan andil nilai bagi sisi lainnya”. Sebagaimana dialektika dinamis, keduanya saling mengisi, pada satu kasus sangat mungkin seseorang direkrut dan diindoktrinasi dengan berbagai cara ( mungkin juga memakai metode hipnotis, temporal maupun permanen sebagai bagian pola cuci otak) kemudian dijadikan agen operator lapangan, seperti kasus bom Cirebon. Kasus lainnya, seseorang mungkin akan mengalami teror fisik terlebih dahulu ; mungkin dengan penculikan dan penyanderaan serta ancaman dalam berbagai bentuk untuk kemudian ditekan sedemikian rupa agar ia dapat dieksploitasi demi kepentingan pelaku teror.

F. Mungkin Dapat Jadi Renungan

Ternyata tidak mudah untuk siapapun untuk memberikan pengertian yang pas sekitar terorisme. Banyak hal yang menyertainya, banyak kepentingan yang menumpang juga banyak aktor dengan beragam motif serta tujuan serta ruang operasi yang sangat luas, sehingga jangankan bagi orang awam, para ahlipun terlihat belum bersepakat untuk menuntaskan dan menempatkan pengertian terorisme secara universal.

 Motif ideologi dengan tujuan kuasa politik dan ekonomi adalah hal paling menonjol dalam tindak terorisme. Bagi negara-negara kuat, seperti AS dan Eropa, dengan standar gandanya, makna terorisme dikungkung dalam kepentingannya masing-masing. Dengan demikian tidak mengherankan bila terdapat suatu laku dari sekelompok atau mungkin negara yang dianggap menggangu kepentingannya, maka untuk hal tersebut AS dan Eropa akan memberikan cap teroris terhadap kelompok atau negara dimaksud. Akan tetapi jika mereka melakukan intervensi, termasuk ekspansi militer terhadap kelompok atau negara yang menjadi sasaran kepentinganya, maka mereka akan berteriak seolah mereka adalah hero “penegak demokrasi, pahlawan HAM ” dan lain-lain serta dengan kekuatan media massa membentuk opini publik sehingga apa yang mereka lakukan seolah legitimate. Sebaliknya kelompok atau negara korbannya disudutkan dengan berbagai embel-embel negatif sebagai teroris yang mengganggu ketertiban dunia.

Laku teror yang seringkali hadir di tengah kehidupan umat manusia, saat ini sudah bukan lagi rahasia jika itu dikendalikan oleh Multinasional Coorporate (MNC) di bawah koordinasi suatu organisasi yang berkepentingan menggenggam kuasa tunggal atas dunia. Haruskah untuk kepentingan segelintir manusia, kehormatan kemanusiaan sedunia dikorbankan ?. Ironi di atas ironi jika umat manusia di belahan negara manapun dan dalam sistem apapun saat ini hanyut dalam mainstream gagasan hampa yang dihembuskan untuk memenuhi ambisi kelompok atau organisasi dan mungkin juga bangsa yang ingin menjadikan lainnya sebagai budak-budak kepentingannya.

Oleh karena itu dibutuhkan kearifan tersendiri dalam memahami dan memaknai terorisme, diharapkan dengan kearifan itu siapapun tidak mudah untuk jatuh dan terjebak untuk menuduh dan memerangi kelompok lain dengan stempel teroris. Mengembalikan makna terorisme pada asal kata dan sejarahnya sepertinya akan menjadi suatu hal penting yang dapat mendasari pemaknaan terorisme, sehingga kedepannya tidak lagi terjadi pemaknaan serampangan atas terma terorisme, sebab bukan satu hal mustahil “mereka yang menuduh teroris justeru adalah teroris yang membungkus lakunya untuk mencapai kepentingan tertentu”.

 Demikian, catatan ini tersampaikan, sebuah sudut pandang orang kampung sebagai sebuah tinjauan atas pemaknaan dan laku terorisme yang tengah gegap gempita berlangsung di atas pentas panggung kemanusiaan dunia. Bila ada yang salah, silahkan betulin sendiri, jika kurang pas bolehlah cari yang pas sendiri. Untuk Indonesia, “ cukuplah bangsa dan negara ini terjebak dan saling berbenturan sendiri, bangsa ini butuh kedamaian untuk mencapai cita merdekanya”.

Maaf untuk yang tersinggung dan terimakasih buat yang telah bantu.

TERORISME bagian 2

D. Terorisme : Tinjauan Motif,  Bentuk dan Tujuan Berdasarkan Fakta Historis

            Dengan melihat pada oleh siapa laku teror dilaksanakan, maka untuk lebih mudahnya, sebagai panduan tabel asumtif sederhana di bawah ini coba untuk digunakan untuk memberikan pemahaman atas motif dan bentuk, serta tujuan teror.

            Berdasarkan tabel di atas, tampak siapapun pelakunya dan apapun motif serta bentuknya tujuannya tetap sama, yakni ; dominasi kuasa. Kecuali pada aktor tunggal yang mengalami penyimpangan perilaku sosial, motifnya yang terlihat adalah merupakan upaya solutif bagi alienasi (keterasingan) dirinya dengan tujuan hanya untuk mendapatkan pengakuan akan keberadaanya, hingga tujuan lainnya mengalami pengaburan, kecuali bila kemudian ada aktor lain yang menunggangi diri dan perilakunya.

            Pada bagian motif laku teror, faktor ideologi disinyalir merupakan faktor yang sangat mendasar. Hal ini tidak terlepas spasi historis yang berjalan seiring dengan peradaban manusia, kapan dan dimanapun ia berada. Faktor fundamental ideologi akan semakin nyata terlihat, terutama ketika pelaku berada pada satu sistem mengikuti tahapan-tahapan pembentukannya. Dimulai dari rekruitmen personal hingga kemudian menjadi sebuah organisasi besar dan sangat kental pada tataran state terrorism.

            Ditinjau dari sudut historisnya, di dunia timur sejarah mencatat, pergulatan ideologi agama antara Yahudi, Nasrani serta Islam menjadi salah satu bagian penting dari historika terorisme sebagai sebuah pijak komparatif plus cermin retak sejarah kemanusiaan. Kebencian Yahudi terhadap Nasrani dan Islam merupakan faktor mendasar yang seharusnya dilihat secara utuh, urgensi dari memahami persoalan ini secara benar adalah realitas perbenturan saat ini sesungguhnya hanyalah merupakan fase dari tahapan demi tahapan sebuah fragmentasi ambisius sekelompok umat yang saling klaim sebagai bangsa termulia, terbaik di dunia. Narasi ini akan dapat dipahami jika bibliografi teologis dari sisi historis dapat terdeskripsikan secara jujur, karena hanya dengan adanya kejujuran pembacaan sejarah sajalah umat manusia akan dapat memulai memahami, apa dan siapa serta bagaimana sesungguhnya manusia itu. Dengan kejujuran pembacaan sejarah pula, dimungkinkan untuk dapat mengurai mengapa dapat terjadi tindak teror dus mungkin akan ditemukan statemen solutif bagi pensekatan yang damai dalam dinamika kehidupan umat manusia.

Selanjutnya ketika Islam menjadi bagian mayoritas dalam peradaban dunia, pergulatan ideologi dalam bentuk alairan pemikiran, sekte dan kelompok-kelompok keagamaan lainnya sangat kental menghiasi perjalan sejarah umat Islam. Ideologisasi paham atau madzhab menjadi mainstream utama pergulatan tarikh Islam, naiknya madzhab pemikiran, berdasarkan fakta sejarahnya, terlihat senantiasa akan menimbulkan upaya eleminasi atas madzhab lainnya. Dalam tarikh Islam dicatat, hebatnya gesekan antara madzhab Mu’tazilah versus Asy’ariyah atau antara Syi’ah dan Ahlussunnah serta Khawarij yang masing-masing mengklaim dirinya sebagai faham atau ideologi yang paling benar dan akan membawakan keselamatan menjadi praksis yang sangat lekat dalam rangkai struktur peradaban Islam.

            Sementara di barat, pergulatan ideologisasi dogmatika gereja melahirkan konflik berkepanjangan hingga saat ini. Munculnya gereja Katholik Roma, Rusia dan Eropa Timur ditambah kemudian dengan pemberontakan etika Kristen yang melahirkan Protestan madzhab Calvinis dan Anglikan menjadi wacana tak terhindarkan dari perjalanan sejarah umat Kristiani.

            Kemudian muncul pemberontakan yang lebih dahsyat berupa pemisahan agama dari negara yang kemudian dikenal dengan sebutan kaum sekuleris. Dari sini kemudian lahir madzhab-madzhab tersendiri yang kadang saling berhadapan secara konfrontatif, seperti antara faham liberal kapitalis versus sosialis komunis. Meski mereka sejatinya berasal dari satu sumber, tetapi ketika faham yang dianut menjadi suatu ideologi gerakan maka dari ideoligasasi faham tersebut muncul perbenturan untuk saling menguasai dan mengalahkan antara satu dengan lainnya. Dari dua catatan sejarah di atas, akhirnya melebar pada pergulatan pada ranah lain, seperti pada ranah politik, ekonomi dan sosial budaya. Pada bagian ini didapat asumsi kuat, bahwa jika ranah politik, ekonomi dan sosial budaya dapat dikuasai maka untuk menetapkan sebuah ideologi akan dapat ditemukan jalan yang tidak terlalu sulit.

            Dengan demikian, boleh dikatakan awal mula munculnya tindak terorisme muncul dari pergulatan ideologi yang dilanjutkan pada tataran intelektual kemudian masuk pada ranah-ranah lain dalam dinamika kehidupan manusia. Berikut adalah satu  peta konsep yang diungkapkan oleh Hamid Fahmi Zarkasyi, Ph.d sekitar perkembangan pergulatan intelektual yang saling bertolak belakang antara timur dan barat. Kelak dari problema ini muncul klaim-klaim negasi antara keduanya hingga sampai dan/atau bermuara pada laku teror.

            Dalam Islam terlihat dengan sangat nyata, lahirnya peradaban adalah hasil dari sebuah proses dialogis simbiotik antara konsep dasar bangun ajar Islam yang akomodatif dan sangat menghargai perkembangan sains. Sehingga dapat dikatakan bangun ajar Islam tidak menjadi penghalang atau malah sebaliknya sangat mendorong perkembangan sains (ilmu pengetahuan dan teknologi). Oleh karena itu dalam sejarah Islam relatif sangat tipis atau jarang terjadi konflik antara ilmu pengetahuan dengan dogmatika Islam, bahkan ilmuwan Islam disamping merupakan ahli-ahli dalam hal ilmu pengetahuan non agama mereka juga merupakan ilmuwan-ilmuwan yang mumpuni dalam ilmu agama (faqih). Alhasil, antara ilmu pengetahuan dan teknologi berekembang dan saling mendukung dalam membangun peradaban Islam.

            Konflik-konflik yang kemudian mengakibatkan tindak teror, muncul kepermukaan, dalam bangun peradaban Islam terlihat lebih kuat tekanannya semata hanya pada kepentingan politik dimana ideologisasi faham (aliran, sekte, madzhab) saling berebut kekuasaan politik agar madzhab mereka dapat diakui dan tersebar di tengah kehidupan masyarakat Islam, akan tetapi hal itu tidak berakibat  fatal yang menjadi penyebab terpisahnya ilmu pengetahuan dengan agama dan negara. Sebaliknya yang terjadi adalah negara menjadi pelindung bagi ilmu pengetahuan dan agama, begitu juga agama dan ilmu pengetahuan menjadi pendukung fundamental bagi negara.

Hal berbeda terjadi dalam tumbuh kembangnya peradaban barat yang ”konon” didirikan di atas landas teologi Kristiani dengan kewenangan mutlak berada pada tangan dogmatis gereja.

Dengan sangat gamblang sejarah mencatat, dogmatika gereja telah berakibat bagi jatuhnya korban dikalangan ilmuwan-ilmuwan di barat.

Uniknya, negara dalam hal ini berdiri pada posisi berpihak pada satu sisi, yakni ; kepentingan gereja. Kondisi ini tentu saja sangat tidak menguntungkan bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi atau sains. Rasionalisme ilmu pengetahuan yang tumbuh dalam peradaban barat terbentur dengan sangat keras pada dinding sistem yang dibangun oleh kuasa agama yang berelasi dengan kuasa negara.

Tindak teror relasi kuasa (negara dan gereja) terhadap penggagas sains terjadi sangat nyata dan akhirnya menjadi alasan bagi lahirnya letupan pemberontakan saintis-saintis yang melihat adanya ketidak cocokan antara dogmatika gereja dengan logika ilmu pengetahuan dan ketidak cocokan antara diktator otoritarian negara yang membelenggu kehidupan rakyatnya untuk bebas berkreasi dengan wacana bahwa manusia terlahir merdeka dan memiliki kebebasan untuk berkreasi. Pemberontakan yang berujung pada pemisahan antara agama, negara dan ilmu pengetahuan adalah puncak dari konflik penindasan kuasa negara dan gereja atas rasionalisme ilmu pengetahuan, hal ini kemudian disebutkan sebagai sekulerisme.

Timbulnya aliran liberalisme dan komunisme diyakini adalah merupakan anak cucu yang lahir dari sekulerisme. Ketika kedua aliran ini diideologisasikan, maka yang tampak kemudian adalah kapitalisme private yang secara konfrontatif dihadapkan pada konsep idelogis sosialis komunal. Perseteruan keduanya merayap kemanapun ia di bawa oleh masing-masing penganut, hingga kemudian melahirkan teror demi teror dalam berbagai aspek kehidupan. Terpecahnya Korea menjadi dua negara (utara-selatan) menjadi contoh perseteruan yang hingga kini belum menemukan titik ujung.

Di Indonesia, catatan tentang pergulatan ideologi yang kemudian melahirkan teror pada berbagai segmen kehidupan dapat diikuti dengan cukup jelas. Bukan satu atau kali masyarakat Indonesia mengalami hal-hal sebagaimana disebutkan. Sebelum tercapainya kemerdekaan Republik Indonesia, fakta-fakta tersebut masih merupakan fakta yang belum terlalu jelas. Tetapi setelah Indonesia merdeka, berbagai peristiwa menunjukan dengan sangat jelas realitas tersebut. Pergulatan ideologis antara nasionalis sekuler, nasonalis agama, agama, sekuler liberal dan komunis berlangsung sangat  teruk. Kompromi-kompromi kadang terjadi, tetapi pada kali lain mereka saling berhadapan dengan sangat keras hingga berakibat pada jatuhnya korban jiwa dan harta benda yang tidak sedikit jumlahnya. Teror demi teror berlangsung massif menghantam kehidupan masyarakat, dari sekedar umpatan kebencian (hate speech) sampai pada pembunuhan.

Namun yang pasti adalah, runtuhnya Uni Sovyet (sekitar dekade 90-an) sebagai lambang adi daya komunis, menjadi simbol kemenangan ideologi liberal kapitalis di pentas persaingan pengaruh antar negara dan bangsa. Runtuhnya ”dalam batasan relatif” komunisme, tidak dengan serta merta menjadikan liberalisme sebagai aktor tunggal penguasa dunia, sebab pada sisi lain ternyata masih ada ideologi berbasis agama, yakni Islam yang masih mungkin dapat menjadi ancaman serius bagi hegemoni tunggal kekuasaan liberalisme kapitalisme. Akhirnya, seperti memutar balik roda sejarah, konflik ideologi bernuansa agama dan kepercayaan muncul kembali kepermukaan. Sebab, sesungguhnya konflik politik yang terjadi, jika dikembalikan pada akar filsafat politiknya maka akan ditemukan mata rantai ideologis yang menjadi landasan bagi lahirnya kaca pandang dan perilaku politik penganutnya, begitu juga pada tataran ekonomi, sosial dan budaya. Pada dasarnya pertarungan politik, ekonomi, sosial dan budaya hanyalah merupakan derivasi dari konflik ideologi yang menjadi landasannya.

Dengan demikian, sepertinya tidak perlu heran jika saat ini negara dan bangsa penganut liberalisme (biasa disebut dengan Barat) menjadikan Islam sebagai obyek atau sasaran untuk penghancuran berikutnya. Sebagaimana kata pepetah ”The  Histrory is  story of winner’s”, Barat sebagai pemenang pertempuran ideologis, membuat cerita indah tentang ideologinya dan memberikan”meski tidak seluruhnya” stigma buruk kepada lawannya (Islam). Konsep teoritis maupun konteks aktual pun dilemparkan menjadi setting untuk memberangus kekuatan ideologis Islam di negara manapun, Islam dipandang sebagai bahaya latent, puritan yang penganutnya dianggap sebagai kaum fundamentalis yang radikal, terbelakang dan barbar sehingga harus dihapus dari muka bumi atau minimalnya dikendalikan. Saat umat Islam melakukan perlawanan atas tindak sewenang-wenang, maka stempel teroris yang mengganggu dan mengancam kehidupan umat manusia pun dilayangkan dengan sangat keras.

Pada tataran tersebut, terdapat suatu logika waras yang senyatanya dapat melihat, bahwa telah terjadi pemutarbalikan fakta dan makna dari taklimat terorisme. Mereka yang lemah dan tertindas dengan sangat kasar diberi label teroris-separatis, sebaliknya mereka yang kuat dan tiran memasangkan label dijidatnya sebagai ”super hero”, polisi dunia, penjaga perdamaian, pahlawan demokrasi, pembela Hak Asasi Manusia (HAM) dan serentetan branded lainnya.

Pada praksis ini, pernyataan di atas kembali nyata berlaku ; Terorisme merupakan pandangan yang subjektif, makna teroris akan kembali pada siapa yang memberi batasan serta kondisi-kondisi yang mempengaruhinya.dominasi kuasa adalah menjadi tujuan akhir setiap laku teror” , pada kurun-kurun dengan situasi dan kondisi sedemikian tabel asumtif bertemu dengan fakta aktual yang menjadi pembuktiannya.Pada sisi lain, dengan kembali pada realitas empiris historis, maka dapat terlihat pemaknaan terorisme akan kembali pada siapa dengan kepentingan apa dan untuk apa kata tersebut dipasarkan.

Satu hal penting lainnya adalah dengan dikembalikannya kata terorisme pada karakter historisnya dimana faktor ideologi merupakan fundamental faktor tindak teror, setidaknya terbuka kemungkinan lahirnya pemahaman, bahwa sejatinya terorisme terbagi pada dua bagian penting bagian hidup manusia, yaitu ; terorisme fisik-material dan terorisme non fisik-mental spiritual. Karena memang, logika normal akan dapat menangkap, bahwa dengan dua bagian yang mencakup seluruh hidup ini, manusia dapat merasakan dan menerima efek teror ataupun menjadi pelaku teror (teroris). Bersambung ……………..

TERORISME bagian 1

APA SING ARANE Ter OR iS ME ???

(Soedoet Lihat Orang Camp Poenk’S)

by. abifaizainoear

 

 

A. Renda Gundah

            Beberapa tahun belakangan ini, rakyat di negeri Jamrud Khatulistiwa seringkali dikejutkan oleh peristiwa dengan label ”teroris, terorisme, dan teror”. Peristiwa tersebut di blow up oleh media massa (cetak dan elektronik), menjadi berita yang masuk mendera relung pemikiran masyarakat. Bayangan kelam terbunuhnya ratusan manusia, kerusakan fisik dan kengerian mencekam, menimbulkan rasa nggirisi pun juga kebingungan. Disebalik semuanya, tertanam di bawah alam sadar masyarakat kebencian yang mendalam terhadap setiap pelaku yang disebutkan secara jelas, satu persatu “ wanted..!!! DPO paling dicari”.

Hanya saja, ada yang patut disayangkan kebencian yang tumbuh akan teror dan teroris kerapkali tidak diiringi dengan pengertian yang benar tentang apa itu teror, teroris dan terorisme ? dan bagaimana adanya bentuk teror, teroris serta terorisme ?, serta siapa teroris saja yang dapat masuk dalam kategori teroris ?. Sampai-sampai kebencian akan hal tersebut menafikan aspek kemanusiaan dan susila keperayaan umat beragama, seperti munculnya laku penolakan penguburan secara layak manusia atas jasad tak bernyawa bagi mereka yang dianggap teroris. Sekali lagi aspek humanitas kerapkali pudar oleh kebencian, jadi apa bedanya laku tersebut dengan laku teroris yang esensinya sama-sama kehilangan nurani humanitas.

Namun, asyiknya bagi sebagian kalangan, rangkai peristiwa teror adalah merupakan hiburan gratis yang datang tidak setahun sekali. Seperti yang terjadi dengan masyarakat di kampung-kampung (mungkin juga di kota) saat aparat Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dengan Detasemen Khusus (Densus) anti teror (dikenal dengan sebutan Densus 88) nya melakukan penggerebekan dan penangkapan teroris yang tengah bersembunyi.

Dengan seragam kebesarannya yang menggentarkan hati, mereka seperti ksatria dari negeri dongeng, memburu, menyergap dan menangkap penjahat, dimanapun berada, di kota-kota hingga kepelosok kampung paling tersembunyi. Masyarakat dibuat berdecak kagum dengan kegagahan anggota Densus, seperti dalam lakon film mereka adalah jagoan-jagoan yang sangat piawai melumpuhkan para bajingan, terkadang lengkap d engan adegan baku tembak dengan ending dibekuknya sang bajingan, hidup atau mati.

            Terutama bagi penduduk kampung, ada keasyikan tersendiri, seperti apa yang terjadi di Kalisoka dalam wilayah desa Lurah Kecamatan Plumbon Kabupaten Cirebon, pasca peledakan Majid Ad Dzikra Markas Kepolisian Resort (Mapolres) Kota  Cirebon oleh Muhammad Syarif atau M Syarif. Hal yang terjadi persis sama sebagaimana beberapa waktu sebelumnya, seperti dalam episode penangkapan Nurdin M Top di Temanggung Jawatengah. Penduduk kampung diberi hiburan menarik, saking menariknya seperti adegan pengambilan gambar sebuah sinetron atau film action, penduduk ramai berkerumun dan bergerombol menonton setiap detail adegan yang tengah dilakonkan, sampai-sampai tidak peduli akan keselamatannya.

Hanya saja, sekali lagi saat ditanyakan pada mereka, tentang apa itu teror, teroris dan terorisme ? dan bagaimana adanya bentuk teror, teroris serta terorisme ?, serta siapa teroris saja yang dapat masuk dalam kategori teroris ?. Khususnya dikalangan penduduk kampung sekitar Kalisoka, terdapat jawaban yang hampir seragam dalam dialek Cirebonan yang khas mereka menjawab ”embuh ya mas apa sih kuen kuh ?” (tidak tahu ya mas apa sis itu tuh..?). So… terdapat suatu kegamangan, lha bagaimana bisa memberantas terorisme dalam arti yang sesungguhnya kalau pengertian tentangnya tidak dimiliki oleh masyarakat yang pada satu ketika dianggap sebagai obyek sekaligus subyek pertama untuk menangkal laku terorisme ?

B. Cuilan Pengertian Terorisme

Dari sudut pengertian bahasa, teror  berasal dari bahasa Inggris terror yang berarti kengerian, ketakutan, menggentarkan, menyeramkan. Dengan demikian berdasarkan pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa apapun lakunya jika itu menjadi sebab timbulnya kengerian, ketakutan dan rangkai kata yang sepadan lainnya, maka boleh dikata itu adalah laku teror. Ketika disambungkan dengan kata isme, menjadi  terorisme (terrorism) maka dapat diartikan sebagai suatu paham dan atau haluan pemikiran yang berpijak dan mengedepankan faktor-faktor yang membuat dan menimbulkan rasa takut dan sejenisnya. Hal ini biasanya dikatakan sebagai  bagian atau cara pelaku (teroris) untuk mencapai dan mempertahankan sesuatu.

Sementara itu menurut Ikram Azzam, terorisme adalah serangkaian aksi yang bertujuan pada upaya penebaran kepanikan, intimidasi dan kerusakan di dalam masyarakat , yang dalam operasinya bisa saja dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang yang biasanya mengambil posisi oposan terhadap negara.(Miftah H Yusufpati , Asia Mark, Jakarta 2007, hal 18). Muladi memberi catatan, bahwa hakekat perbuatan Terorisme mengandung perbuatan kekerasan atau ancaman kekerasan yang berkarakter politik. Bentuk perbuatan bisa berupa perompakan, pembajakan maupun penyanderaan. Pelaku dapat merupakan individu, kelompok, atau negara. Sedangkan hasil yang diharapkan adalah munculnya rasa takut, pemerasan, perubahan radikal politik, tuntutan Hak Asasi Manusia, dan kebebasan dasar untuk pihak yang tidak bersalah serta kepuasan tuntutan politik lain(Muladi, Hakekat Terorisme dan Beberapa Prinsip Pengaturan dalam Kriminalisasi, Jurnal Kriminologi Indonesia FISIP UI, vol 2 no III (Desember 2002): 1.

Menurut The Arab Convention on the Suppression of Terrorism , senada dengan Convention of the Organisation of the Islamic Conference on Combating International Terrorism, 1999. Terorisme adalah tindakan atau ancaman kekerasan apapun motif dan tujuannya, yang terjadi untuk menjalankan agenda tindak kejahatan individu atau kolektif, yang menyebabkan teror di tengah masyarakat, rasa takut dengan melukai mereka atau mengancam kehidupan, kebebasan, atau keselamatan atau bertujuan untuk menyebabkan kerusakan lingkungan atau harta publik maupun pribadi atau menguasai dan merampasnya atau bertujuan untuk mengancam sumber daya nasional.

Menurut Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1 ayat 1, Tindak Pidana Terorisme adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini. Mengenai perbuatan apa saja yang dikategorikan ke dalam Tindak Pidana Terorisme, diatur dalam ketentuan pada Bab III (Tindak Pidana Terorisme), Pasal 6, 7, bahwa setiap orang dipidana karena melakukan Tindak Pidana Terorisme, jika:

  1. Dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau menghilangkan nyawa dan harta benda orang lain atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional (Pasal 6).
  2. Dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan bermaksud untuk menimbulkan suasana terror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau menghilangkan nyawa dan harta benda orang lain atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional (Pasal 7).

Dan seseorang juga dianggap melakukan Tindak Pidana Terorisme, berdasarkan ketentuan pasal 8, 9, 10, 11 dan 12 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Dari banyak definisi yang dikemukakan oleh banyak pihak, yang menjadi ciri dari suatu Tindak Pidana Terorisme adalah:

  1. Adanya rencana untuk melaksanakan tindakan tersebut.
  2. Dilakukan oleh orang atau suatu kelompok tertentu.
  3. Menggunakan kekerasan.
  4. Mengambil korban dari masyarakat sipil, dengan maksud mengintimidasi pemerintah.
  5. Dilakukan untuk mencapai pemenuhan atas tujuan tertentu dari pelaku, yang dapat berupa motif sosial, politik ataupun agama.

Menurut James M. Poland. Terrorism is the premeditated, deliberate, systematic murder, mayhem and threatening of the innocent to create fear and intimidation, in order to gain a political or tactical advantage, usually to influence audience. (http://www.terrorism.com/modules.php)

Menurut Vice President’s Task Force,1986  Terrorism is the unlawful use or threat of violence against persons or property to further political or social objectives. It is usually intended to intimidate or coerce a government, individuals or groups, or to modify their behavior or politics. (http://www.terrorism.com/modules.php). Sedangkan menurut Webster’s New World College Dictionary (1986) definisi Terorisme adalah “the use of force or threats to demoralize, intimidate, and subjugate. (Imam Cahyono,Terorisme Dan Hegemoni Kesadaran, 30 Oktober 2002). ”Doktrin membedakan Terorisme kedalam dua macam definisi, yaitu definisi tindakan teroris (terrorism act) dan pelaku terorisme (terrorism actor). Disepakati oleh kebanyakan ahli bahwa tindakan yang tergolong kedalam tindakan Terorisme adalah tindakan-tindakan yang memiliki elemen yang senantiasa terkait dengan : (1). kekerasan, (2). tujuan politik, dan (3). teror/intended audience. (Mohammad Mova Al’Afghani, “Kampanye Melawan Terorisme Telah Merusak Tatanan Hukum” http://www.theceli.com, 6 Agustus 2003).( http://mail2.factsoft.de/pipermail/national/2002).

Berdasarkan pengertian-pengertian di atas tampak ada beberapa hal yang dapat digaris bawahi, pertama ; sebagaimana pengertian sebelumnya teror adalah laku yang esensinya adalah  menyebabkan ketakutan dalam berbagai bentuk artikulasi dan bentuk. Kedua; dari sisi pelaku, teror dapat dilakukan oleh individu maupun sekelompok orang, baik terorganisasi ataupun tidak. Ketiga; dilihat dari posisi pelaku, biasanya ia atau mereka adalah merupakan kelompok yang mengambil posisi berseberangan dengan kepentingan masyarakat umum dan negara. Pengertian itu juga memperlihatkan,  adanya keterlibatan negara dalam peristiwa atau praksis tumbuh kembangnya terorisme.

Pun berdasarkan pengertian-pengertian tersebut, terdapat satu realita bahwa definisi akademis tentang Terorisme tidak dapat dengan mudah diselaraskan menjadi definisi yuridis. Dengan situasi dan kondisi yang sedemikian rupa, maka tentu perbedaan sudut pandang tentang pengertian terorisme dalam berbagai sudut akan timbul dalam prespektif  yang sangat mungkin bertolak belakang. Oleh karena itu dibutuhkan kearifan tersendiri, khususnya dalam memahami tulisan ini, apalagi prespektif tulisan ini datang dari orang kampung yang jauh dari hiruk pikuk pergulatan kepentingan yang menjadi inang bagi tumbuhnya terorisme.

Namun demikian bila diikuti dari keseluruhan definisi di atas terlihat bahwa terma (term) terorisme senantiasa dikaitkan, pertama : dari sudut ideologis,  ia adalah merupakan paham yang mengakibatkan timbulnya ketakutan dan kata lain sejenis, kedua: dari sudut pelakunya siapapun dapat menjadi teroris, dan ketiga: dari sudut posisinya terorisme dihadapkan diametral konfrontatif dengan subyek penentang laku teror. Oleh karena itu, pada satu sudut peristiwa teror dapat dikatakan sebagai sebuah akibat dari kegagalan interaksi dan interrelasi sosial, baik individual maupun institusional. Berkaitan dengan waktu dan tempatnya laku teror tentunya akan sangat terkait erat dengan siapa pelaku dan dimana posisinya. Uniknya, hampir setiap definisi memperlihatkan bahwa terma terorisme seolah tidak pernah jauh dari kepentingan politik.

 Selanjutnya akan dilihat presfektif terorisme berdasarkan, siapa pelakunya dan bagaimana bentuknya, sehingga akan didapat gambaran jelas apa yang sesungguhnya terorisme. Namun sebelumnya untuk tidak menimbulkan kecurigaan sejujurnya harus diakui bahwa ”meminjam bahasa” Fahrudin Faiz dalam Hermenautika Al Qur’an mengatakan ” …tidak pernah seseorang itu mampu memproduksi pengetahuan tentang pengetahuan sesuatu tersebut sebagai sesuatu yang otentik sebagaimana adanya, namun pengetahuan yang dihasilkannya adalah pengetahuan tentang sesuatu –’menurut dia’- atau –’sebagaimana ia tangkap’. Peristiwa yang sama jika dipahami oleh orang yang berbeda, sangat mungkin hasil pemahamannya  juga berbeda.” (Faiz, Hermeneutika Al Qur’an, Yogyakarta : 2005, eLSAQ Press, hal 6).

 Pernyataan spesifik dalam hal ini (sulitnya memberikan definisi terorisme) disampaikan oleh Prof. M. Cherif Bassiouni, ahli Hukum Pidana Internasional dalam Loebby Loqman, (Analisis Hukum dan Perundang-Undangan Kejahatan terhadap Keamanan Negara di Indonesia, Jakarta: Universitas Indonesia, 1990, hal, 98) mengatakan, bahwa tidak mudah untuk mengadakan suatu pengertian yang identik yang dapat diterima secara universal sehingga sulit mengadakan pengawasan atas makna Terorisme tersebut. Sedangkan menurut Prof. Brian Jenkins, Ph,d ” Terorisme merupakan pandangan yang subjektif.”(Indriyanto Seno Adji, “Terorisme, Perpu No.1 tahun 2002 dalam Perspektif Hukum Pidana” dalam Terorisme: Tragedi Umat Manusia (Jakarta: O.C. Kaligis & Associates, 2001, hal 35). Dengan demikian makna teroris akan kembali pada siapa yang memberi batasan serta kondisi-kondisi yang mempengaruhinya.

C. Terorisme : Tinjauan dari Sudut Pelaku

            Antropologi egosentrisme manusia memperlihatkan bahwa, setiap manusia terlahir dengan egoisme untuk bekerjasama sekaligus naluri untuk berkuasa. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika sesungguhnya terorisme jika dirunut dari akar sejarahnya boleh dikatakan ia ada seiring dengan keberadaan manusia itu sendiri. Hal ini dapat dirujuk pada berita-berita dari kitab suci berbagai agama, terutama kabar tentang pertarungan kuasa antara Adam dengan Iblis, pun juga antara anak Adam yang berebut (kuasa) dalam mempersunting pasangannya yang dibarengi dengan ancaman pembunuhan. Dengan demikian epistemologi terorisme muncul merangkai ontologi pergulatan kepentingan antara manusia satu dengan manusia lainnya, atau kemudian berkembang menjadi kepentingan kelompok (komunitas). Di abad moderen ketika manusia-manusia berkelompok dalam satu wadah bangsa dan negara, maka kepentingan yang mengiringinyapun makin kompleks dan makin besar mencakup setiap aspek kepentingan hidup dan kehidupan.

            Realitas tersebut, menjadi dasar yang menegakkan kaca pandang, terorisme dilihat dari sudut pelakunya mencakup aktor-aktor sebagai berikut ;

1). Terorisme Perorangan (Individual Terrorism)

            Dilihat dari sudut pelaku, teror dapat dilakukan oleh seorang atau teroris adalah individu yang menebarkan rasa takut bagi lingkup sosialnya. Teroris perorangan beroperasi pada berbagai ruang, dari ruang publik dalam skala dan efek luas sampai  sampai pada ruang private seperti ruang keluarga dalam suatu rumahtangga. Seorang kepala rumah tangga (suami) dapat saja menebarkan  ketakutan bagi keluarganya, baik dalam bentuk ancaman maupun dalam bentuk nyata seperti penganiayaan fisik terhadap anggota keluarganya, hal ini sekarang masuk dalam ranah hukum Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Begitu juga seorang atasan dalam lingkungan kerja, ia dapat menjadi aktor yang dihormati plus dapat juga menjadi aktor yang menebarkan teror bagi bawahannya.

Teror yang dilakukan oleh perorangan, tidak hanya dapat terjadi pada ruang-ruang yang selama ini dianggap umum dan mungkin. Ia bahkan dapat terjadi pada ruang yang selama ini dianggap relatif  bebas dari kemungkinan terjadinya teror, seperti ruang atau lingkungan pendidikan. Pendek kata, selama ada ruang yang memungkinkan terjadinya interaksi sosial, sementara dalam interaksi tersebut terdapat relasi yang menimbulkan adanya pihak yang berada pada posisi sub ordinat, maka di situ dapat dipastikan ’ terbuka kemungkinan terjadinya teror, baik fisik maupun non fisik’.

Hanya saja patut disayangkan, meski sudah ada hukum dan peraturan yang menjadi rambu-rambu untuk tidak terjadinya laku teror dalam situasi dan kondisi di atas. Laku teror dalam ruang-ruang tersebut, pada umumnya lebih banyak yang, jangankan masuk pada proses hukum, malah lepas dari pantauan. Secara umum teradapat beberapa hal yang menyebabkan laku itu terlepas dari upaya penanganan hukum, diantaranya adalah faktor ketakutan dari obyek atau korban teror juga faktor psikologis lainnya, seperti kemungkinan akan menghadirkan aib yang memalukan bagi korban.

Pada beberapa kalangan, hal itu timbul dikarenakan adanya faktor etis sosial budaya yang pada bagian tertentu menempatkan satu pihak pada posisi marjinal, baik karena faktor strata sosial maupun karena ketidak berdayaan pihak korban untuk menuntut haknya, biasanya disebabkan karena rendahnya pendidikan ataupun ketidak berdayaan secara ekonomi. Lebih menyedihkan lagi, kurangnya (untuk tidak mengatakan tidak ) respon  dari aparatur yang memiliki otoritas untuk menangani kasus tersebut, responsibilitas masyarakat pun tidak jauh berbeda.

            Meskipun beberapa definisi tidak memasukan tindakan di atas dalam kategori terorisme, namun dengan melihat pada esensi pengertian dasar teror sebagai sebuah laku mengakibatkan timbulnya ketakutan, kengerian dan goncangnya interaksi sosial, maka apapun lakunya, segala hal yang berakibat timbulnya ketakutan boleh tentunya untuk dikatakan masuk dalam kategori teror.

Jadi pada tataran ini, patut disayangkan, akibat keterbatasan dalam pemberian makna atas laku teror yang terjadi, kondisi selanjutnya adalah individual terrorism pada wilayah tersebut sering kali terabaikan, apalagi jika tidak memiliki kaitan dengan kepentingan politik ataupun tidak mendatangkan keuntungan ekonomi, maka akan semakin jauh panggang dari api untuk dapat menemui penanganan secara hukum.

2).Terorisme Group (Groups Terrorism)

            Sebagaimana definisi di atas, pelaku teror dapat dilakukan oleh seorang atau terorisme individual, teror juga dapat dilakukan oleh kelompok-kelompok dengan kepentingan tertentu   yang menebarkan rasa takut bagi lingkup sosialnya. Sebagaimana individual terrorism, goups terrorism juga  beroperasi pada berbagai ruang, dari ruang publik dalam skala dan efek luas sampai  sampai pada ruang private seperti ruang keluarga dalam suatu rumahtangga.

            Secara umum, dengan melihat pada jumlah pelaku teror (teroris) dalam jumlah lebih dari satu orang, dapat dipastikan efek yang ditimbulkan tentunya akan jauh lebih besar jika dibandingkan dengan tindak teror yang dilakukan secara individual. Terorisme group biasanya lebih kental dilatarbelakangi oleh motif-motif psikologis, seperti tuntutan akan pengakuan keberadaan mereka. Disamping motif psikologis, terorisme jenis ini juga sangat kental dengan motif-motif ekonomi, penguasaan wilayah atau lahan garap bernilai ekonomi, seperti penguasaan wilayah terminal, lahan parkir, pasar dan lain sejenisnya berupa ruang publik.

            Teroris group dapat muncul dalam bentuk gang-gang (gank) yang melakukan tindakan premanisme di ruang-ruang publik, seperti pemalakan (pemerasan), pencurian dengan kekerasan (curas) dan lain sejenisnya. Terkadang terorisme group juga merambah masuk pada area kepentingan politik dan bahkan ideologi dan pertahanan-keamanan (hankam). Ketika terorisme group semakin melebarkan sayap kegiatannya dan jauh memasuki ranah-ranah kehidupan, dapat dipastikan akan terjadi instabilitas sosial, baik pada lingkungan terbatas maupun pada ruang yang lebih luas.

            Contoh kasus dalam hal ini dapat dilihat pada penguasaan area publik, seperti ; pasar dan ruang usaha lainnya. Aktifitas mereka, baik langsung ataupun tidak langsung akan berpengaruh pada aktifitas ekonomi yang dilakukan oleh masyarakat. Keterhambatan distribusi barang dan jasa serta efek biaya tinggi adalah bagian dari faktor sedikit banyak dipengaruhi oleh adanya kegiatan terorisme group. Kehadiran teroris dalam bentuk gang, sering tampak kasat mata di ruang-ruang publik, pun demikian aktifitasnya pun tampak mudah untuk ditelusuri, semacam pungutan uang keamanan pada pelaku ekonomi, uang parkir yang dipungut dari supir-supir pengangkut, sampai pada bentuk ancaman dan penganiayaan, memberikan efek psikologis yang ”relatif ” mengganggu kenyamanan para pelaku ekonomi.

            Belum lagi jika kemudian mereka berkembang menjadi suatu jaringan kelompok yang semakin besar, menjadi semacam mafia, triad atau sejenisnya, kehadiran mereka akan semakin kokoh dan masyarakat akan semakin dibuat tidak berdaya untuk menghadapinya. Dengan rentang aktifitas yang semakin luas dan semakin dalam memberikan ancaman terhadap stabilitas sosial dan politik, seperti ketika mereka menjadi pengendali peredaran narkotika dan bisnis barang ilegal lainnya, bukankah hal tersebut akan sangat mengganggu bagi kehidupan pada umumnya. Namun sangat aneh, dalam beberapa hal, kelompok-kelompok seperti ini tidak dimaksudkan dalam kategori teroris hanya karena pendapat bahwa dalam kelompok ini terdapat dan/atau berlaku bentuk ekstrem loyalitas dan solidaritas yang disebut dengan omerta (tutup mulut) yang membedakan mereka dari kebiasaan teroris moderen yang lebih suka membuat pernyataan terbuka ” sebagai aktor yang bertanggungjawab” dari sebuah peristiwa teror.

            Ceritanya tentu akan lain, bila saja standarisasi terorisme dikembalikan pada pengertian dasarnya dimana secara letterlijk essensial efek dari perbuatan mereka sama saja, yakni ; menimbulkan ketakutan, kepanikan dan ancaman bagi kehidupan masyarakat banyak dan juga merupakan bentuk penyakit yang menimbulkan social melajustmen. Bila saja standarisasi ini diterapkan tentu penanganan atas kasus mereka tidak lagi akan ditangani sebagai kasus kriminal biasa, setidaknya untuk menimbulkan efek jera sebagai bagian dari pelaksanaan fungsi hukum, akan ada tindakan pemberian sanksi hukum yang lebih berat ketimbang hanya menganggap mereka sebagai kriminal picisan yang cukup diganjar dengan hukuman ringan.

            Kelompok-kelompok kecil kecil atau group teroris saat ini semakin banyak tumbuh, terutama di kantung-kantung komunitas dimana tingkat tekanan psikologis sangat kuat, baik berlatar belakang ekonomi, politik maupun ideologi plus pergeseran atau perubahan sosial  yang tidak berjalan mulus. Didukung oleh perangkat teknogi informasi dan komunikasi (ITI atau TIK) dan transportasi yang semakin canggih, kelompok-kelompok seperti ini dapat saling berinteraksi dengan sangat mudah, melewati batas-batas geografis bahkan batas-batas private.

Dalam dunia yang rata serta nyaris tanpa batas, ide teror bersliweran melompat-lompat dan mengalir dari satu sisi kesisi dunia lain, antar kelompok mengkomunikasikan dirinya. Berbagai latar belakang kepentingan bertemu, jika mereka menemukan saling cocok satu dengan lainnya, maka kristalisasi kelompok bukanlah suatu hal yang tidak mungkin. Di sini kepentingan ideologi, politik, ekonomi, sosial dan budaya serta deretan penyertanya akan menjadi taruhan, lalu… orang akan terperangah manakala action teror sudah terjadi dan pelakunya adalah merupakan suatu bagian dari jaringan yang bukan lagi bagian dari kepentingan lokal, mereka sudah jauh menembus batas sampai pada langit-langit globalisasi.

3). Terorisme Organisasi (Organization Terrorism)

Terorisme kian jelas menjadi momok bagi peradaban modern. Sifat tindakan, pelaku, tujuan strategis, motivasi, hasil yang diharapkan serta dicapai, target-target serta metode Terorisme kini semakin luas dan bervariasi. Sehingga semakin jelas bahwa teror bukan merupakan bentuk kejahatan kekerasan destruktif biasa, melainkan sudah merupakan kejahatan terhadap perdamaian dan keamanan umat manusia (crimes against peace and security of mankind)(Mulyana W Kusumah, Terorisme dalam Perspektif Politik dan Hukum, Jurnal Kriminologi Indonesia FISIP UI, vol 2 no III (Desember 2002, 22). Menurut Muladi, Tindak Pidana Terorisme dapat dikategorikan sebagai mala per se atau mala in se, tergolong kejahatan terhadap hati nurani (Crimes against conscience), menjadi sesuatu yang jahat bukan karena diatur atau dilarang oleh Undang-Undang, melainkan karena pada dasarnya tergolong sebagai natural wrong atau acts wrong in themselves bukan mala prohibita yang tergolong kejahatan karena diatur demikian oleh Undang-Undang. (Mompang L. Panggabean, “Mengkaji Kembali Perpu Antiterorisme” dalam Mengenang Perppu Anti Terorisme, (Jakarta: Suara Muhamadiyah, Agustus 2003, cet.I, hal 77).

            Paparan di atas, memperlihatkan suatu mata rangkai proses logika metamorfosis terbentuknya kelompok-kelompok teroris. Ketika jaringan mereka semakin luas dan besar serta menjangkau kepentingan yang luas, maka menjadi lumrah bila kemudian terbentuk jaringan organisasi teroris dengan struktur yang mapan. Hal ini bukan lagi menjadi suatu rahasia, contoh konkret terbentang, seperti kelompok Mafioso Sicilia atau Triad China, Yakuza Jepang atau kartel-kartel narkotika Latin Cosa Nostra dan juga lainnya, bukankah mereka dulu hanyalah sebuah jaringan keluarga?, sekarang mereka telah berkembang menjadi suatu organisasi internasional yang menguasai jaringan-jaringan bisnis, legal ataupun ilegal. Mereka bekerja dalam jaring organisasi yang sangat rapi dengan perwakilan dan pendelegasian kuasa dengan tingkat efektifitas dan efisiensi kinerja sangat tinggi.

Dipadu dengan omerta code, mereka berhasil membangun suatu sistem dalam sistem yang  sangat rapi dan canggih. Infiltrasi mereka berhasil menyusup dalam setiap segmen dan kadang menjadi penguasa di balik penguasa atau penguasa yang mengendalikan penguasa pada bidang-bidang yang akan dapat mendukung setiap operasinya. Bidang politik merupakan bagian penting yang menjadi target utama mereka, dengan target-target tertentu, didukung kekuatan dana keuangan (finasial) yang besar, mereka  dapat saja mengangkat atau menjatuhkan seorang atau lebih pimpinan politik di suatu wilayah (lokal, nasional bahkan internasional). Teror ekonomi seperti; pelarian modal (capital flight), pencucian uang (money laundring), teror kemanusiaan, seperti; perdagangan manusia  (traficking) bahkan sampai dengan pembunuhan masal (genosyda), juga teror terhadap lingkungan dan sumberdaya alam dengan eksplorasi serta eksploitasi tak bertanggungjawab untuk mengeruk kekayaan alam sehingga bisa didapat sebesar-besarnya keuntungan adalah merupakan teror yang sebagian besar hadir karena andil dari hadirnya kejahatna terorganisasisir yang mencengkeram erat kehidupan umat manusia.

            Kejahatan teroganisir saat ini merupakan ancaman serius yang mengancam kehidupan, bukan hanya pribadi tapi juga mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebut saja di Amerika Serikat (AS / USA) terdapat kelompok yang disebut dengan ”The Economic Hit man” suatu kelompok terorganisir yang terdiri dari personal-personal dengan spesifikasi intelektual akademis sangat-sangat baik. Dengan kemampuan personal seperti itu, laku teror mereka mampu mengacak-acak fundamental ekonomi suatu negara hingga rontok tak bersisa. Sebuah film Hollywood yang dibintangi oleh Jhon Travolta dengan judul ”Swordfish” merupakan suatu contoh teror terorganisir dari organisasi teroris yang sangat rapi dan berakibat kerugian dua negara, AS dan Palestina. Dana pemerintah AS dirampok dengan  menggunakan kecanggihan teknologi informasi dan komunikasi serta transportasi, dana hasil rampokan digunakan untuk membiayai kepentingan Israel melalui organisasi Zionis dalam upaya penguasaan atau aneksasi wilayah Palestina.

            Sebut lagi, kejahatan kerah putih (white collar crime), monkey bussines atau mafia Berkeley dengan wilayah operasi global dan sanggup menempati dan/atau menempatkan anggotanya pada kedudukan tertentu dalam sistem pemerintahan suatu negara. Hingga kemudian mereka memiliki akses juga kemampuan kendali atas kebijakan yang dikeluarkan oleh negara bersangkutan. Alhasil, terorisme terorganisasi saat ini telah menjelma dan/atau tergabung dalam bentuk coorporate internasional atau Multinational Coorporate (MNC). Sehingga tidak aneh jika kemudian mereka mampu mengendalikan kebijakan-kebijakan di suatu negara bahkan dalam mengangkat dan menjatuhkan sebuah rezim yang mereka inginkan.

Indonesia pernah mengalami hal itu, meskipun dirahasiakan, dugaan naik dan jatuhnya rezim Orde Baru (Orba) adalah merupakan bagian dari operasi MNC, terbuka ataupun tertutup. Indikasinya dapat terlihat dari naik dan turunnya Orba yang dibarengi dengan kompensasi-kompensasi dalam sistem kenegaraan yang menguntungkan kelompok tertentu, seperti konsesi-konsesi ekonomi yang memberikan hak kelola sumber daya alam Indonesia pada MNC. Tengok saja pada kasus Freeport, Newmont dan hak kelola atas ladang-ladang minyak, bahkan yang paling aneh adalah kasus NAMRU-2 yang beroperasi dalam wilayah kantor Dinas Kesehatan (Diskes) dengan produk vaksin yang sangat menguntungkan bagi MNC. Pertanyaannya adalah ”apakah negara dan bangsa Indonesia diuntungkan ?”, ternyata tidak, bahkan ada kesan kuat rakyat Indonesia dijadikan kelinci percobaan untuk pengujian senjata biologis dan Pemerintah RI tidak bisa berbuat banyak karena tekanan politik yang sangat kuat dari sponsor yang didalangi oleh MNC.

Jika dilihat dari pengantar meletusnya reformasi, bukan suatu hal yang mustahil, lahirnya orde reformasi juga merupakan bagian dari atau terdapat andil dari kinerja terorisme terorganisir. Diawali dengan ketergantungan Indonesia atas belas kasih International Monetery Fund (IMF), World Bank, Asian Development Bank (ADB) serta bantuan asing lainnya, sebagai negara pengutang dengan sendirinya kedaulatan Indonesia yang menyatakan diri sebagai negara merdeka, tak lebih dari ungkapan di atas kertas. Indonesia dalam batasan artifisial dengan situasi dan kondisi seperti tersebut, tidak lagi memiliki kemerdekaan dan kedaulatan politik maupun ekonomi, padahal dua hal tersebut merupakan fundamental kehidupan berbangsa dan bernegara.

Begitu laku teror dilancarkan oleh coorporate internasional, hanya melalui satu tangan makhluk bernama George Soros, seketika terjadi pelarian modal yang merontokan fundamental ekonomi sampai babak bundas kandas ludes. Segera setelah itu efek domino terjadi, kekacauan politik susul menyusul jatuh berserak dengan tumbangnya pranata sosial budaya yang selama ini menjadi landasan kehidupan berbangsa dan bernegara bagi masyarakat Indonesia. Indonesia pun termangu, dijerat inflasi yang membumbung, utang dengan bunga yang mencekik, akhirnya satu demi satu asset-asset negara jatuh ketangan Multi National Coorporate (MNC) di bawah kendali aktor-aktor semacam geng The Economic Hitman  tanpa agreement buyback. Hingga saat ini, Indonesia tak ubahnya sapi perah yang dikeruk kekayaannya habis-habisan, negara dengan sumber daya alam melimpah dikatakan ”gemah ripah loh jinawi, zamrud katulistiwa” tapi rakyatnya miskin dan sengsara. Ironi dari sebuah kegagalan dalam memaknai dan memahami terorisme, telah menjatuhkan bangsa ini menjadi pembantu gratisan di rumah sendiri.

            Apakah ini bukan merupakan bagian dari terorisme terorganisasi ?. Sangat aneh kalau dikatakan ”bukan atau tidak”, sebab bukankah dalam hal ini bangsa, rakyat dan negara Indonesia, telah sangat dirugikan dan terancam dalam ragam aspek kehidupannya. Sekali lagi, aneh dan sangat aneh bila hal tersebut tidak termasuk dalam kategori terorisme, atau jangan-jangan ada oknum negara yang justeru terlibat didalamnya?, sulit untuk dilacak tapi bukan mustahil ia ada. Intinya tetaplah sama, masyarakat tercekam dalam sistem politik dan pemerintahan yang tidak berpihak pada mereka, roda pemerintahan berjalan sebagai sebuah sistematika pengerdilan eksistensi rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dalam sistem demokrasi. Sehingga dalam keputus-asaan  sering muncul komentar ”demokratisasi, keadilan, kesetaraan, Hak Asasi Manusia” hanyalah lips service untuk meredam keinginan kuat dari massa rakyat yang ingin membebaskan diri dari kungkungan sistem yang dikendalikan oleh organisasi (teroris) internasional yang berkolaborasi dengan organisasi teroris nasional.

 4). Terorisme Negara (State Terrorism)

Banyak kalangan terperangah ketika gagasan state terrorism ini dimunculkan oleh mantan Perdana Menteri Malasyia Mahathir Muhammad pada KTT OKI sekitar 2006. (HM Sooeharto, Membangun Citra Islam, Jakarta, 2007, hal 19-20) Selain oleh pelaku individual, terorisme bisa dilakukan oleh negara atau dikenal dengan terorisme negara (state terorism). Misalnya seperti dikemukakan oleh Noam Chomsky yang menyebut Amerika Serikat ke dalam kategori itu. Persoalan standar ganda selalu mewarnai berbagai penyebutan yang awalnya bermula dari Barat. Seperti ketika Amerika Serikat banyak menyebut teroris terhadap berbagai kelompok di dunia, di sisi lain liputan media menunjukkan fakta bahwa Amerika Serikat melakukan tindakan terorisme yang mengerikan hingga melanggar konvensi yang telah disepakati. (http//wikipedia.org/wiki/Definisi Terorisme).

Menurut beberapa kalangan, tindak terorisme oleh negara diawali oleh peristiwa  penyerangan gedung pencakar langit kembar (Twin-Towers) World Trade Centre (WTC) di New York AS. Peristiwa tersebut, di bawah kendali AS yang dikenal sangat kuat mencengkeram media masa, di blow up menjadi isu global yang mempengaruhi kebijakan politik seluruh negara-negara di dunia, sehingga menjadi landasan awal pembentukan opini dan persepsi untuk menjadikan terorisme sebagai musuh internasional. Sehingga kemudian dikatakan ”Terorisme kian jelas menjadi momok bagi peradaban modern. Sifat tindakan, pelaku, tujuan strategis, motivasi, hasil yang diharapkan serta dicapai, target-target serta metode Terorisme kini semakin luas dan bervariasi. Sehingga semakin jelas bahwa teror bukan merupakan bentuk kejahatan kekerasan destruktif biasa, melainkan sudah merupakan kejahatan terhadap perdamaian dan keamanan umat manusia (crimes against peace and security of mankind) (Mulyana W Kusuma,Terorisme dalam Perspektif Politik dan Hukum, Jurnal Kriminologi Indonesia FISIP UI, vol 2 no III (Desember 2002, hal 22).

Untuk mengantisipasi tindakan teror, kini banyak negara yang meratifikasi Undang-Undang (UU) Antiterorisme, sayangnya kemudian muncul tindakan-tindakan negara yang seolah-olah dengan dalih penegakan UU tersebut melegalkan kesewenang-wenangan (arbitrary detention) serta pengingkaran terhadap prinsip free and fair trial. Kondisi ini tentu saja menjadikan kehidupan sosial terasa menjadi tidak nyaman, sebab alih-alih untuk menegakan Hak Asasi Manusia (HAM) banyak negara justeru melakukan pelanggaran atau penafian atas HAM. Penangkapan semena-mena yang kemudian diiringi oleh tindakan interogasi kurang manusiawi menjadi momen penting terjadinya pelangggaran HAM atas terduga teroris. Amnesti Internasional melaporkan, bahwa penggunaan siksaan dalam proses interogasi terhadap orang yang disangka teroris cenderung meningkat.( Todung Mulya Lubis, “Masyarakat Sipil dan Kebijakan Negara Kasus Perppu/RUU Tindak Pidana Terorisme” dalam Mengenang Perppu Antiterorisme, (Jakarta: Suara Muhammadiyah, Agustus 2003, hal 91).

Pada sisi lain, sebagaimana dikatakan di atas dengan standar gandanya, AS menjadikan momen ini sebagai legitimasi, dengan berbagai dalih, seperti ; penegakan demokrasi, penegakan HAM, justifikasi keadilan, dan lain-lain” untuk melakukan intervensi atas negara lain. Tengok saja kasus Irak, Afghanistan dan selanjutnya dengan berkoalisi dengan negara  sekutunya (di bawah kendali NATO) terakhir AS melakukan serangan brutal ke Libya. Ironi kontradiktif dengan apa yang disuarakannya, AS malah memberikan pengesahan atas serangan Israel yang melakukan aneksasi atas wilayah kedaulatan Palestina. Lebih jauhnya, AS di bawah pengaruh MNC terus merangsek menjadi polisi dunia yang memaksakan kehendaknya, kasus embargo ekonomi atas Korea Utara dan Iran menjadi contoh menarik bagi kasus state terrorism.

Dibagian lain, UU Antiterorisme menjadi bagian penting kesewenang-wenangan negara untuk memukul dan mematikan gerakan sosial dan politik rakyatnya yang dianggap bertentangan dengan haluan negara. Berbagai label miring menjadi branded untuk legitimasi keluarnya jurus maut pembungkaman dan pemberangusan suara rakyat. Sadar atau malah mungkin merupakan skenario besar untuk menciptakan jargon New World and New Order di bawah satu kepemimpinan dunia, mindset seperti ini telah melahirkan diktator otoritarian baru dalam blantika pemerintahan internasional.

Demikian, singkatnya laku teror dapat dilakukan oleh siapa saja, individu, kelompok kecil (group), organisasi bahkan oleh negara (tunggal maupun multiasional). Sekarang yang menjadi persoalan adalah bagaimana masyarakat mensikapi konsep terorisme dalam konteks yang luas dan komprenhensif. Hal ini penting untuk direnungkan bersama, sebab selalu terbuka kemungkinan pemlintiran maknawi dari kata terorisme menjadi suatu jargon yang diarahkan oleh suatu kelompok -,bisa juga negara,- tertentu untuk meraih keuntungan dari pengaburan kontekstual atas konsepsi terorisme. Pengaburan maknawi dalam konteksnya pada akhirnya menjadi sebuah jebakan maut yang menjerumuskan umat manusia pada perusakan nilai-nilai kemanusiaannya sendiri dengan tindakan sewenang-wenang dan laku dzhalim antara satu atas lainnya.

Pendidikan Islam Transformatif

SECUIL CATATAN PENDIDIKAN ISLAM TRANSFORMATIF

By. Hezbian

A. PENDAHULUAN

            Sejak kali pertama melihat buku berjudul Pendidikan Islam Transformatif, ada lingkaran pertanyaan yang cukup mengusik. Sebab berkali-kali buku dengan judul yang hampir sama serta telah berulangkali menjadi bahasan dibeberapa forum diskusi, baik dikalangan umum maupun pada lingkungan akademis, hasilnya lebih cenderung  menampakkan preskripsi yang beraroma reproduksi atas hasil kreatifitas atau buah fikiran dari sekelompok intelektual Islam terdahulu yang kemudian ditambal sulam dengan perangkat teoritis yang muncul belakangan.

Hal tersebut di atas, paling tidak dapat terlihat dengan jelas pada realitas bahwa sampai hari ini pendidikan Islam masih berputar pada praksis ”determinisme historis dan terjebak dalam realisme pragmatis. Kondisi ini, baik langsung ataupun tidak, berkorelasi kuat dengan bangun epistemologi pendidikan Islam belakangan. Determinisme historis ditandai dengan sangat kuatnya upaya apologetik yang dengan segenap daya berupaya mengungkap mutiara-mutiara pendidikan Islam dan tidak jarang pada akhirnya terjebak dalam nuansa glorifikasi bahkan prinsipalisasi kreatifitas intelektual Islam setara dengan martabat sumber ajarnya (Al qur’an dan Hadits). Pada bagian lain, pendidikan Islam seperti berputar-putar pada ranah general-teoritis yang sangat sulit untuk memberikan hasil produk nyata atau dalam kata lain produk akademik Islam masih bersifat deskriptif, normatif dan adoptif yang hanya memenuhi selera pasar. Dari dua hal ini, muncul harapan besar bahwa buku yang ditulis oleh Mahmud Arif ini setidaknya akan sedikit memberi warna baru dan sedikit membuka pintu solutif atas kelesuan sistemik pendidikan Islam dewasa ini.

B. SEKILAS PENDIDIKAN ISLAM INDONESIA

Pendidikan Islam, di Indonesia khususnya, diakui oleh banyak kalangan telah berjalan dalam kurun waktu yang sangat lama. Namun apakah kemudian hal tersebut menjadi satu jaminan kalau kemudian pendidikan Islam telah berada jauh di muka jika dibandingkan dengan pendidikan lain ?. Ternyata lamanya rentang waktu tersebut tidak menjadi satu jaminan bahwa pendidikan Islam di Indonesia telah mencapai tarap sebagaima diinginkan, bahkan sebaliknya pendidikan Islam di Indonesia mungkin justeru tengah berada dalam keterpurukan.

Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan ketertinggalan pendidikan Islam di Indonesia, diantaranya disebutkan oleh H.A.R Tilaar bahwa akibat tersingkirnya pendidikan Islam dari mainstream pendidikan nasional, telah mengakibatkan jatuhnya pendidikan Islam dalam dua jenis dikotomi atau dualisme yang artifisial. Pertama ialah pendidikan yang sekuler dan pendidikan yang mempunyai ciri khas dalam hal ini keislaman.1 Meski pada tanggal 24 Maret  tahun 1975 terbit SKB 3 Menteri yang berintikan kebijakan untuk mengembalikan ketertinggalan pendidikan Islam dalam mainstream pendidikan nasional, namun hal tersebut tampaknya masih belum memuaskan hasil yang memuaskan.

Hal yang dipaparkan Tilaar dapat terlihat dengan jelas, terutama pada aspek metodologis, teoritis filosofis dan sangat mungkin normatif-valuatif. Realitas tersebut sangat terkait erat dengan faktor epistemologis pendidikan Islam yang hingga saat ini masih terjebak dalam kegamangan dialektis saat harus berdialog dengan teori-teori pendidikan yang datang dari barat. Pada tataran konseptual, sistematika pendidikan Islam tampak ”relatif” mengalami inferioritas saat harus dihadapkan vis a vis dengan konsepsi yang dihasilkan dari produk pemikiran dunia Barat. Hal ini kemudian berpengaruh pada performa aplikatif, terapan pendidikan Islam pada akhirnya seolah tidak lebih merupakan dan juga menerapkan pola adoptif, berdiri pada landasan teoritis yang dibangun atas paradigma pendidikan dunia Barat. Satu sisi hal tersebut tidaklah terlalu salah, namun pada saat hal itu dilakukan dengan tidak dibarengi analisis kritis tentunya akan sangat membahayakan. Karena sikap inferioritas      yang

kemudian maujud dalam praktik akan membuka kemungkinan bagi hilangnya kreatifitas inovatif yang seharusnya berkembang dalam dunia akademik Islam.

Bangun pendidikan Islam sebagaimana disebutkan di atas, cepat atau lambat akan mempengaruhi (meminjam bahasa geografi) topografi budaya masyarakat Islam Indonesia. Ketika aspek pendidikan mengalami keterpurukan sedemikian rupa, maka akan terbuka pintu yang luas bagi keterpurukan budaya masyarakatnya. Sebab dikatakan pendidikan adalah produk dari sebuah budaya tetapi pendidikan juga merupakan kunci bagi proses pembentukan konstruksi sebuah budaya. Dengan demikian mustahil akan dapat terjadi transmisi dan transformasi bangun budaya jika tidak terjadi proses pendidikan didalamnya. Hal ini terkait erat dengan faktor-faktor yang oleh Talcott-Parson dikatakan bahwa di dalam sebuah sistem budaya akan senantiasa terdapat empat hal pokok, yaitu ; sistem kepercayaan (belief system), sistem pengetahuan (knowledge system), sistem nilai (value system) dan sistem norma (norm system).

Ketika Islam sebagai bangun sebuah kepercayaan (agama) ditinjau sebagai bagian dari sebuah dinamika kultural yang tidak dapat dipisahkan dari determinan empiris historisnya. Maka pendidikan Islam ke depan akan dipaksa untuk mampu mengkonstruksi dirinya agar senantiasa up to date dengan tuntutan masanya. Dalam hal inilah, gagasan Pendidikan Islam Transformartif yang diajukan oleh Mahmud Arif layak untuk ditinjau, dikritisi dan dipelajari secara seksama.

C. PENDIDIKAN ISLAM TRANSFORMATIF

Dalam buku yang ditulis oleh Mahmud Arif   paling tidak tersirat ide dasar yang dengan tukikan cukup tajam menguak dua tantangan terbesar yang dihadapi oleh pendidikan Islam, khususnya di Indonesia. Dua tantangan tersebut adalah berkenaan dengan, pertama ; aspek ketergantungan isi (contents) pendidikan Islam yang secara simultan seolah terus bergantung pada peninggalan-peninggalan masa lalu. Ketergantungan yang ada terlihat cukup parah hingga kemudian membentuk sikap seolah karya-karya klasik produk dari ulama (intelektual) dari abad pertengahan adalah merupakan teks suci yang secara prinsipal harus terus dipertahankan, sampai seperti harga mati.

Lebih jauhnya muncul semacam axioma yang ditransendensikan sebagai bentuk keyakinan bahwa produk tersebut adalah merupakan diktum-diktum suci yang harus dijunjung tinggi dan kebal kritik atau mungkin bahkan bebas nilai. Oleh Mahmud Arif kelompok ketergantungan ini kemudian dimasukkan kedalam aliran konservatif (al muhafizh). Dengan ciri khas kecenderungan “keagamaan” sangat kuat dan memaknai ilmu terbatas pada pengetahuan tentang Tuhan, berambisi pada keluhuran spiritual hingga bersikap “mengecilkan” dunia, dan menganggap ilmu hanya untuk ilmu. Titik ujungnya adalah pemaknaan pewarisan budaya tanpa momot nilai perubahan..

Ketika kelompok ini bertemu dengan realitas budaya yang terus berubah dan tumbuh dan berkembang maka yang terjadi adalah ketegangan yang memicu konflik intelektual pada ranah perdebatan tanpa produk apapun. Akibat yang terjadi kemudian adalah reproduksi besar-besaran atas kreatifitas intelektual lama yang ditambal sulam dengan teorema apolegetik. Efek domino pun terjadi, sadar ataupun tidak kelompok ini akhirnya terhenti pada praksis simbolis ritualistik, hingga sangat berpengaruh pada aspek paedagogis, afeksi dan kognisi serta psikomotoris yang terbelenggu pada epistemologi kaku. Ditinjau dari sudut aksiologis hal ini tidak menjadi dasar yang kokoh untuk lahirnya produk keilmuan yang dapat membumi dan berfungsi menghantarkan manusia pada pemenuhan aspek inquiry yang menghendaki pendekatan kebenaran secara demokratis.

Pada posisi konfrontatif Mahmud mencatatkan adanya kelompok lain yang coba membangun benteng dari ekspansi kelompok di atas. Kelompok ini mencoba menggunakan fakta-fakta empiris yang dicerna, dipertimbangkan dan dikritisi berdasarkan kemampuan atau potensi-potensi kemanusiaan dengan segala kelengkapan bawaannya. Kelompok ini oleh Mahmud disebut dengan kelompok rasional. Kelompok ini berpijak pada wujud manusia sebagai makhluk yang memiliki potensi kreatifitas bebas untuk memilih dan sederet kebebasan lain termasuk kebebasan berekspresi menggali dan menemukan potensi-potensi intelektual untuk menemukan kebenarannya sendiri. Manusia dalam hal ini bukanlah merupakan bagian dari sesuatu yang layak untuk hanya menerima dan pasrah terhadap laku yang dialaminya (sub ordinat).

Polemik diantara keduanya terus berlanjut hingga saat ini, dalam hal ini Mahmud mendadar fakta-fakta empiris historis dunia pendidikan Islam dari masa awal pertumbuhannya hingga kemudian meredup dan sekarang sedang coba dimunculkan tawaran-tawaran alternatif agar dapat terjadi sinergi mutual yang berdampak pada manfaat ganda bagi bangkit kembalinya dunia pendidikan Islam.

Pedaran Mahmud mencakup epistemologi untuk aksi yang mendedarkan epistemologi bayani, irfani dan burhani dalam suatu dinamika dialektis. Dimulai dengan kokohnya epistemologi bayani yang mengalami kemapanan di atas dan/atau berrealsi dengan kuasa negara dengan sistem yang dijalankannya. Secara jelas diawal tulisannya, Mahmud sudah mengatakan bahwa pendidikan bukanlah suatu entitas yang terisolir (isolated entity), ia akan senantiasa berinteraksi dengan riak dan gelombang dinamika kitaran lingkungan yang melingkupinya. Praksis ini menggambarkan bahwa pendidikan mau tidak mau harus berinteraksi dan berdialog dengan situasi dan kondisi sosial, politik, ekonomi bahkan ideologi dari lingkungan sekitarannya.

Relasi kuasa dalam dunia pendidikan Islam yang digambarkan dengan kemapanan epistemologi bayani digambarkannya dengan genial. Hingga Mahmud kemudian mengurai realitas penyempitan maknawi dan fungsional intelektual (Ulama) Islam sebagai mata rantai transformasi masa keemasan pendidikan Islam yang kemudian menyurut. Epistemologi bayani yang berrelasi dengan kekuasaan dan kepentingan politis telah mendegradasikan makna keulamaan pada satu otoritas kelompok fuqaha.

Secara langsung hal di atas telah menyebabkan kemandegan kreatifitas produktif untuk melahirkan karya-karya baru. Kreatifitas ilmiah menjadi suatu budaya yang hampa, reproduksi massal atas warisan lama menjadi suatu hal yang seolah lebih berharga dibandingkan upaya kritis untuk melahirkan karya baru yang lebih membumi. Akibatnya meminjam bahasa Frans Magnis Suseno ”intelektual di menara gading”, mereka gagal untuk berinteraksi dengan kepentingan pengguna, sehingga kemudian kultur yang terbentuk adalah berkembangnya budaya hipokrit opportunis.

Kajian Mahmud akhirnya tertuju langsung ke arah pesantren dengan segala dinamikanya. Hal ini sepertinya tidak bisa dihindari, mungkin juga karena latar belakang Mahmud yang akrab dengan dunia pendidikan pesantren. Namun, yang layak untuk dicermati adalah mata rantai atau geneologi intelektual pesantren nyaris tidak bisa dipisahkan dari proses transmisi dan transformasi nyaris selalu mengikuti apa yang mereka dapatkan dari pendahulunya, andaipun terjadi perubahan maka itu terjadi dengan sangat lambat dan halus.

Pertanyaannya, apakah hal itu salah ?. Tanpa tendensi untuk melakukan pembelaan, sebagai institusi pendidikan keislaman tertua dan tanggungjawab untuk mencetak kader-kader baru dalam dinamika intelektual Islam, tidak sepenuhnya pesantren dapat dipersalahkan. Aspek ketersambungan geneologis historis intelektual juga merupakan hal penting yang tidak dapat diabaikan. Aspek lainnya adalah realitas pesantren yang tumbuh dan berkembang dalam situasi dan kondisi kultural Indonesia telah memperlihatkan performance kemandirian yang otomatis memberikan mereka hak dan kewenangan untuk menentukan masa depan dan prosesing penjagaan kultural yang hidup dan berkembang dalam dinamikanya.

Pertanyaan selanjutnya, apakah dengan laku demikian pesantren sudah dapat memberikan kontribusi yang layak bagi kemajuan pendidikan umat Islam dalam menghadapi tantangan kehidupannya ?. Sementara pada sisi lain, politik pendidikan dan kebijakannya memperlihatkan bahwa pesantren hanya ditempatkan sebagai lembaga pendidikan non formal. Ini berarti secara implisit memposisikan pesantren sebagai lembaga pendidikan yang berada di bawah kelas pendidikan umum. Ditambah lagi orientasi pendidikan nasional yang menghendaki agar out put pendidikan diharapkan setelah selesai menempuh jenjang pendidikan tertentu dapat memiliki keahlian teknis yang dapat diterima pasar.

Ketika tawaran konseptual pendidikan Islam transformatif dimunculkan, sebenarnya muncul suatu harapan dan membuka pintu kemungkinan untuk meningkatkan kelas pendidikan Islam, khususnya dipesantren. Pendidikan Islam transformatif dengan sendirinya harus berbenturan dengan realitas beban berat yang harus dipikulnya. Hal ini dengan terpaksa harus diperhitungkan, sebab di depan mata terbentang efek globalisasi yang dikatakan oleh Revrisond Basywir dalam paragraf ” Bahwa sebuah penipuan besar-besaran tampaknya sedang terjadi di seluruh dunia. Upaya sistematis yang dilakukan oleh kekuatan kapitalisme global untuk memperluas jangkauan pasarnya, kini berhasil dibungkus dan digulirkan ke seluruh penjuru dunia dengan nama dan citra baru. Dan hampir di seluruh dunia, termasuk negara-negara dunia ketiga yang menjadi sasaran utama ekspansi pasar kekuatan kapitalisme global itu, masyarakat luas cenderung menyambutnya dengan penuh suka cita. Pemerintah nasional di negara-negara dunia ketiga, kini sibuk mempersiapkan diri dan masyarakatnya untuk menyongsong sebuah tata kehidupan baru yang diperkenalkan kepada mereka dengan nama globalisasi…”.

Dr. Mansour Fakih (Alm.) memasukkan globalisasi sebagai periode ketiga dari penjajahan terhadap Indonesia. Adapun penjajahan periode pertama, yakni kolonialisme, di mana terjadi ekspansi fisik-militer dalam mencari bahan baku mentah untuk dijadikan sebagai bahan-bahan produksi. Akibat dari kolonialisme inilah, sehingga terjadi penjajahan di benua Asia dan Afrika. Periode kedua, developmentalisme bukan lagi penjajahan fisik, tetapi sudah berupa hegemoni. Di mana negara-negara bekas penjajah melakukan penjajahan lewat teori-teori yang melahirkan dan mendukung pembangunan di dunia ketiga (negara-negara bekas jajahan).

Periode ketiga, yakni globalisasi, muncul dalam bentuk pengintegrasian ekonomi nasional ke dalam ekonomi dunia internasional yang didasarkan pada mekanisme pasar (invisible hands) dengan blok-blok ekonomi yang sudah dikastakan. Pasarlah yang menentukan sistem ekonomi dunia, peran pemerintah “dikerdilkan” dalam perdagangan tersebut. Pemerintah tidak lebih adalah lembaga yang dikendalikan oleh coorporate-coorporate, sehingga ia hanya merupakan kepanjangan tangan yang melahirkan kebijakan sesuai dengan kepentingan coorporate. Dalam situasi dan kondisi seperti ini maka komunitas masyarakat manusia tidak lebih dari sapi perah sekaligus pangsa pasar bagi segelintir manusia lainnya. Dengan demikian adagium Yunani kuno yang mengatakan homo homini lupus berlaku di sini, aspek moralitas, spiritual, demokrasi sepertinya hanya merupakan simbol-simbol lipstisck yang diteriakkan sebagai lagu penghantar tidur.

Jika pendidikan dimaksudkan untuk memanusiakan manusia sebagaimana manusia adanya, maka  pendidikan Islam transformatif yang menurut Abudi nata dapat dibentuk melalui peran humanisasi, liberasi dan transendensi agama, setidaknya harus dapat dan mampu mewujud  sebagai arahan prosedural moral sosial  dengan tugas : pertama, bahwa tugas nasional pendidikan Islam adalah memperjuangkan pembebasan nasional dari belenggu-rantai penjajahan gaya baru ala globalisasi. Kedua, tugas demokratisasi pendidikan Islam, sehingga ia dapat menjadi pijakan bagi terjadinya perubahan struktur sosial-politik dari patronase-oligarkhi menuju masyarakat yang kritis. Kebijakan-kebijakan yang diregulasikan rezim pasca ORBA tidak diperuntukkan membangun bangsa yang mandiri serta membangun mentalitas-moralitas bangsa merdeka, namun lebih pada upaya menghasilkan kebijakan yang mengaburkan makna demokrasi. Demokrasi yang hanya menjadikan masyarakat sebagai penonton dalam panggung berbangsa dan bernegara, bukan demokrasi yang memunculkan kritisisme-massa yang telah sekian lama dininabobokan kehendaknya, dikhianati dan dimanipulasi kesadarannya. Dan ketiga, tugas kerakyatan pendidikan Islam dalam rangka pembelaan terhadap hak-hak rakyat tertindas. Pendidikan Islam harus mampu menempa seorang pendidik yang inklusive, dalam lain kata pendidik tidaklah boleh menjadi eksklusivistik, elitis dan menjadi “menara gading” terhadap realitas sosial yang ada disekitarnya.

Dari uraian di atas, terlihat dengan jelas bahwa pendidikan Islam sesungguhnya dapat dapat mengambil peran yang sangat penting di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara serta menjadikan ranah khatulistiwa ini tercerahkan. Oleh karena itu, sangat diharapkan pendidikan Islam berdiri di garda depan transformasi sosial menuju negara yang berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi dan berkepribadian secara kebudayaan (Tri Sakti ala Soekarno). Jika hal ini dapat diwujudkan, maka era kegemilangan pendidikan Islam, khususnya pendidikan pesantren bukan suatu hal yang mustahil untuk dapt digapai kembali. Dengan pendidikan Islam beserta varian lembaganya pula dapat melahirkan manusia-manusia yang tercerahkan, kritis, kreatif, inovatif, dan tidak fanatik terhadap fundamentalisme agama yang justru menumbuh-kembangkan truth claim (klaim kebenaran) dan salvation claim (klaim keselamatan) serta fundamentalisme pasar yang menumbuh-kembangkan sistem ekonomi kapitalisme ortodoks.

Tawaran Mahmud Arif  untuk membentuk hubungan takamuliyah konseptual tiga varian epistemologi (bayani, irfani dan burhani) dalam struktur hierarkis pyramidal dalam pengertian dinamis dialektis merupakan suatu tawaran yang sangat bernilai. Namun persoalannya sebagaimana dikatakan oleh Mahmud sendiri di atas, bahwa pendidikan bukanlah suatu entitas yang teisolasi, ia akan sangat dipengaruhi oleh situasi dan kondisi lingkungan yang melingkupinya. Harus dengan jujur diakui, faktor-faktor ideologi, politik, ekonomi dan sosial budaya yang terbangun, di Indonesia khususnya (spesifik bagi dunia pesantren dan pendidikan tinggi Islam), bukanlah suatu situasi dan kondisi yang nyaman bagi pelaksanaan ide tersebut.

Belum lagi kalau harus diperhitungkan sisi internal dunia pendidikan Islam dan mungkin juga iklim pendidikan nasional Indonesia yang masih sangat kental dengan kultur feodalistik. Kultur yang secara kasat mata dapat terlihat pada wujud otoritarianisme intelektual yang sangat sulit untuk dapat dikatakan sebagai sebuah pola pendidikan yang memerdekakan peserta didik. Tambahan lagi kebijakan pendidikan yang masih terbelenggu pada budaya birokratis yang sangat njelimet. Tawaran alternatif Mahmud meski sangat berharga, sepertinya masih merupakan kembang harum yang mengawang diangkasa.

Secara teoritis tawaran tersebut sangat menjanjikan, karena sangat mungkin untuk membuka pendidikan yang mencerahkan, memerdekakan dan memberdayakan, sehingga harapan untuk mewujudkan budaya intelektual yang aktif dan kreatif serta produktif mungkin akan dapat dicapai. Tapi pada tataran aplikatif-implementatif, tawaran tersebut sepertinya sangat sulit untuk membumi. Struktur budaya feodalistik dalam dunia pendidikan, hingga hari ini masih memberikan ruang bebas bagi munculnya tiran-tiran intelektual pada lembaga pendidikan. Pun demikian seiring berjalannya waktu, peluang kearah tersebut sekecil apapun semoga masih dapat tetap dipertahankan untuk senantiasa terbuka. Seperti bara api, harapan untuk kembali meraih kegemilangan pendidikan Islam mudah-mudahan masih akan selalau dan selalu menyala. Semoga. Wallahu ’alam bish shawab

Beranda

Selamat Datang di Hezbi Islami